Mendalami dan menikmati Mazmur 115
Seorang teolog bernama Gabriel Vahanian pernah mengatakan bahwa manusia tidak mudah untuk membebaskan diri dari tendensi berhala yang ada dan hidup dalam struktur dasar eksistensinya. Tendensi itu tidak datang dari luar diri manusia, apalagi hanya sekadar di luar manusia, melainkan ada di dalam, menjadi struktur dasar hidup dan keberadaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, jika Allah sejati tidak lagi disembah, maka pasti manusia akan mencari sesuatu sebagai penggantinya, yang kepadanya manusia akan menyembah berhala. Memang manusia mudah sekali terperosok ke dalam perilaku berhala, kata seorang teolog lain, Harvey Cox.
Mazmur ini juga berbicara tentang tendensi berhala yang ada dan hidup dalam diri manusia. Yaitu tendensi untuk menggeser Allah dari tempat yang sepatutnya lalu diganti dengan sesuatu yang lain, yang dianggap dan diperlakukan sebagai sembahan.
Dibandingkan dengan beberapa mazmur sebelumnya, mazmur ini termasuk cukup panjang (18 ayat). Judulnya ialah: “Kemuliaan hanya bagi Allah.” Judul itu sudah menegaskan apa yang menjadi isi dari seluruh mazmur. Jika kita mengikuti dinamika isinya, dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama: ayat 1-7. Bagian kedua: ayat 8-15. Bagian ketiga: ayat 16-18. Dalam bagian berikut saya akan mencoba melihat mazmur ini bagian demi bagian.
Dalam ay. 1 dari bagian pertama langsung dibentangkan kepada kita penegasan mengenai siapa yang harus disembah. Bukan diri manusia, melainkan nama Tuhan. Hanya kepada nama Tuhan itu sajalah kita memberi kemuliaan, karena Tuhan penuh kasih dan setia (hesed). Ini adalah sebuah kebenaran fundamental dalam kehidupan umat Israel. Memang umat bisa saja tergoda jika mendengar pertanyaan retoris dari para bangsa yang bertanya tentang di mana Allah mereka? (ay. 2). Pertanyaan yang dijawab dengan tegas dan sederhana: Allah kita ada di surga (ay. 3). Allah adalah subjek tindakan-Nya sendiri. Hal itu sangat berbeda jauh dari berhala-berhala para bangsa. Mulai dari ayat 4-7 dilukiskan ciri-ciri berhala para bangsa. Pertama, berhala mereka hanya buatan tangan manusia belaka, terbuat dari bahan perak dan emas (ay. 4). Di tempat lain dikatakan terbuat dari batu dan kayu. Berbeda dengan Allah Israel, berhala-berhala ini sama sekali tidak berdaya; mereka bukan subjek bagi tindakannya sendiri. Berhala-berhala itu lengkap secara fisik: ada mulut (ay. 5), mata (ay. 5), telinga, hidung (ay. 6), tangan, kaki (ay. 7), dan kerongkongan (ay. 7), tetapi semuanya tidak dapat berfungsi sebagaimana sepatutnya. Mereka tampak seperti hidup, tetapi sesungguhnya mereka itu hanya seolah-olah hidup, sebenarnya tidak hidup sama sekali. Jadi, tidak nyata.
Dalam bagian kedua, dengan sangat tegas dikatakan bahwa nasib mereka yang menyembah berhala-berhala akan sama tidak berdayanya dengan berhala-berhala yang mereka sembah. Jika berhala-berhala mereka tidak dapat berbuat apa-apa, demikian juga halnya mereka yang menyembahnya, akan menjadi tidak berdaya juga (ay. 8).
Atas dasar itulah maka dalam bagian berikut si pemazmur mengajak kaum Israel dan kaum Harun agar jangan mencondongkan hati kepada berhala, melainkan harus percaya kepada Tuhan. Sebab hanya Tuhanlah pertolongan bagi mereka (ay. 9). Begitu juga halnya dengan kaum Harun; mereka dianjurkan untuk percaya kepada Tuhan sebab hanya Tuhan sajalah yang menjadi pertolongan dan perlindungan bagi mereka dan bukan yang lain (ay. 10). Selain kaum Israel dan kaum Harun, dalam ayat 11 disebut kategori kelompok yang ketiga yang diajak untuk percaya kepada Tuhan, yaitu orang-orang yang takut akan Tuhan. Mereka ini adalah orang yang berasal dari kelompok para bangsa lain, tetapi mau percaya kepada Allah Israel.
Berbeda dengan berhala-berhala para bangsa, Tuhan Allah Israel itu tidak pernah lupa akan umat-Nya. Ia selalu ingat akan mereka (ay. 12). Karena Ia ingat maka Ia memberi berkat, dan berkat itu berlaku untuk semua orang, baik yang kecil maupun yang besar (ay. 13). Dalam ayat 14 kita mendengar sebuah doa yang secara khusus memohon pertambahan jumlah kaum Israel, agar mereka tidak lagi menjadi yang terkecil dan diremehkan orang. Pemazmur berharap agar Tuhan yang menjadikan langit dan bumi akan memberkati kaum Israel (ay. 15).
Dalam bagian ketiga kita temukan sesuatu yang penting dan menarik juga untuk dicermati. Dalam ayat 16 dibuat sebuah pembedaan antara langit dan bumi; langit untuk Tuhan, dan bumi untuk manusia. Sebagaimana Tuhan telah bertindak bijaksana dari surga terhadap makhluk ciptaan-Nya, demikian juga halnya dengan manusia, harus bertindak bijaksana di bumi ini (dalam relasinya dengan sesama makhluk ciptaan). Dalam dua ayat terakhir, dijawab sebuah pertanyaan iman yang penting: siapakah yang sesungguhnya akan memuji Tuhan? Apakah orang-orang yang sudah mati? Apakah orang-orang yang sudah turun ke tempat sunyi? Ternyata ayat 17 menegaskan bahwa yang memuji Tuhan itu bukan kedua kelompok orang tadi. Kalau demikian siapakah yang akan memuji Tuhan? Itulah yang dijawab dengan tegas dan lantang dalam ayat 18: bahwa yang memuji Tuhan ialah kita yang masih hidup sekarang ini, dan pujian itu akan berlangsung hingga selama-lamanya. Menarik bahwa di sini muncul lagi seruan haleluya sebagai penutup mazmur.
Georgetown University, Washington DC, 10 Desember 2014.
Oleh:
Fransiskus Borgias M
Lay Theologian, Dosen dan Peneliti
GESER INSTITUTE dan CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FF-UNPAR Bandung
Ph.D Student ICRS-Yogya