BcE Yes.50:4-7; Flp.2:6-11; Mrk.14:1-15:47
Kisah Sengsara dalam Injil bukanlah laporan pandangan mata, melainkan sebuah narasi kesaksian orang-orang yang paham serta percaya bahwa sengsara dan kematian Yesus terjadi dalam rangka pengabdian-Nya untuk membangun kembali hubungan baik antara manusia dan Allah. Kisah sengsara-Nya memperlihatkan betapa merosotnya kemanusiaan yang menolak kehadiran Yang Ilahi. Ditegaskan dalam kesaksian ini bahwa orang yang pasrah menerima kehadiran Allah akan menerima kehidupan sejati – seperti Yesus yang kemudian dibangkitkan dari kematian-Nya. Kisah tragis manusia tak berdosa itu dipersaksikan bagi orang banyak bukan untuk memicu rasa terharu, melainkan untuk membuat kita makin menyadari sampai di mana kekuatan-kekuatan jahat dapat memerosotkan kemanusiaan. Juga untuk mempersaksikan bahwa Yang Ilahi tidak bakal kalah atau meninggalkan manusia sendirian. Inilah kabar baik bagi semua orang.
Allah terus-menerus mengundang kita semua untuk berbagi dalam hidup-Nya, tinggal di dalam kasih-Nya, menerima tubuh dan darah-Nya, membaca firman-Nya dan berbagi kepada saudara seiman yang membutuhkan, melayani Dia dengan memikul salib, menderita bersama-Nya, dan mati bagi-Nya. Yang seringkali terjadi, keakuan menyuruh diri ini sibuk dengan urusan sendiri dan erat berhubungan dengan penonjolan diri kepada orang lain, yang kemudian muncul dalam bentuk penolakan terhadap undangan Tuhan (lihat Lukas 14:18-19). Kita akan terus tidak menyadari undangan Tuhan atau menyadari tetapi hanya untuk menolaknya selama tidak bersedia mengosongkan diri seperti Yesus (lihat Filipi 2:7). Hanya ketika menyalibkan diri bersama Dia (lihat Galatia 2:19); yaitu: “daging dan segala keinginannya” (lihat Galatia 5:24); dan dunia (lihat Galatia 6:14); kita baru bisa mengosongkan diri untuk mendengar dan menerima undangan Tuhan.