Minggu, 07 Juni 2015
Bacaan: Kel. 24: 3-8; Mzm. 116: 12-13, 15, 16bc, 17-18; Ibr. 9: 11-15; Mrk. 14: 12-16, 22-26
Kebanyakan suku bangsa dalam masyarakat Indonesia, menggunakan darah (hewan pada umumnya) sebagai media dalam melaksanakan ritual tertentu.
Mengapa darah? Karena bagi suku-suku bangsa tersebut, darah merupakan lambang dari kehidupan. Karena itu, menjalankan ritus atau ritual dengan menggunakan darah berarti mempersembahkan hidup atau kehidupan itu sendiri sebagai taruhannya jika ritus tersebut gagal.
Hal yang kurang lebih sama ternyata berlaku juga dalam masyarakat Yahudi. Dalam bacaan pertama (Kel. 24: 3-8) dijelaskan bahwa Musa memimpin bangsa Israel dalam upacara pengikatan perjanjian antara bangsa Israel dengan Tuhan.
Dalam upacara tersebut, Musa dan bangsa Israel menggunakan darah binatang korban sebagai media perjanjian tersebut. Sedangkan dalam bacaan Injil (Mrk. 14: 12-16, 22-26), Yesus juga melakukan serangkaian ritus atau ritual orang Yahudi pada zaman itu yakni melakukan perjamuan malam.
Hanya saja yang membedakan perjamuan malam yang diadakan oleh Yesus dengan perjamuan malam orang Yahudi pada umumnya adalah bahwa dalam perjamuan malam tersebut, Yesus “mempersembahkan tubuh dan darah-Nya” sendiri sebagai korban persembahan; bukan binatang korban.
Perjamuan malam Yesus itulah yang sampai sekarang kita kenangkan sebagai Perayaan Ekaristi. Untuk kita renungkan: jika dalam Perayaan Ekaristi, Tuhan Yesus rela mempersembahkan tubuh dan darah-Nya sendiri sebagai korban persembahan bagi penebusan dosa-dosa kita, sejauh mana kita sebagai orang Katolik menghargai Perayaan Ekaristi dalam kehidupan kita?
Sudahkah kita mempersiapkan diri kita dengan baik sebelum merayakan Perayaan Ekaristi ataukah kita hanya memperlakukan Perayaan Ekaristi sebagai rutinitas biasa?? Selamat merenungkan! (Carlos/St. Aloysius Gonzaga)