Dalam rangka peringatan Hari Kartini, Wanita Katolik Republik Indonesia cabang St. Martinus, ikut serta dalam persiapan KAA di Kotamadya Bandung. Bersama PBB (Perempuan Bandung Bersatu) kami, WKRI Cab. St. Martinus yang diwakili oleh Ibu Gina, Ibu Rosi, Ibu Betty, Ibu Sandria, dan Ibu Srimurni, bergotong royong membersihkan jalan di sekitar alun-alun Bandung, Rabu 22 April 2015. Kurang lebih 1.000 orang perempuan tergabung dalam aksi Perempuan Bandung Peduli ini.
Senang juga kami bersama-sama membersihkan jalan dan bangku kota. Diselingi foto-foto tentu saja… Peristiwa ini sangat unik dan spesial karena dalam peringatan KAA ke-60, Bandung begitu indah dan bersih. Antusias warga sungguh sangat besar. Kami terpesona dengan semua yang telah dilakukan pemerintah, agar Bandung menjadi cantik. Semoga kegiatan bersih-bersih ini mengajarkan dan memberi teladan kepada warga semua, bahwa Bandung yang indah harus kita jaga dan pelihara.
Di Paroki, acara Kartinian digabungkan dengan Paskahan, digelar pada hari Minggu, 26 April. Di hari yang istimewa ini, para ibu yang terbiasa tampil ‘biasa’, kini tampil menjadi wanita yang ‘seutuhnya’. Para pengurus berseragam kebaya putih, sementara para anggota yang hadir mengenakan busana kebaya nan anggun yang beragam. Ada pula yang mengenakan pakaian khas daerah asal masing-masing.
Pertemuan kali ini berbeda, bukan hanya karena seragam yang dikenakan saja, namun dibacakan pula riwayat Raden Ajeng Kartini sebagai pejuang dan pemerhati hak-hak emansipasi wanita Indonesia. Riwayat ini dituturkan oleh Ibu Dini. Tak lupa kami juga menyanyikan Mars WKRI dan Lagu Wajib Nasional ‘Ibu Kita Kartini’ dalam rangkaian acara. Acara hari itu pun dilanjutkan dengan arisan WKRI, ramah tamah, serta ulasan dari Ibu Lisna sebagai ketua WKRI Cabang St. Martinus, Bandung.
Semoga dengan dilakukannya acara ini dan dengan dimeriahkannya pertemuan oleh pakaian budaya nasional nan cantik, kita dapat semakin mencintai budaya kita, menumbuhkan rasa nasionalisme Indonesia, dan semakin percaya diri sebagai wanita Katolik di Indonesia. (Rosi dan Gina/WKRI)