Apakah Anda kenal dengan umat kita yang bernama Bapak Paul Tejasurya? Sosok yang akrab disapa Om Paul ini tinggal di bilangan Kopo Permai. Di tengah acara Konferensi Asia Afrika yang baru saja berlangsung, ada baiknya kita menengok kembali jurnalis-jurnalis muda saat itu. Salah satunya adalah Om Paul yang pada saat itu adalah seorang fotografer lepas beberapa media cetak di Bandung era 50-an.
Saat KAA 1955 digelar, ia memotret dengan menggunakan kamera seberat 1,5 kilogram. Terdapat 300 lembar foto seputar KAA yang berhasil diabadikan Om Paul, sehingga suasana konferensi dapat terekam jelas lewat jepretan kameranya. Hasil foto Paul itu dihimpun dalam buku berjudul “Bandung 1955”. Menurut kurator pameran, Galih Sedayu, buku foto itu menjadi salah satu apresiasi terhadap KAA 2015. Acara bertajuk Bandung 1955 ini bertujuan untuk mengenang dan menghargai sejarah melalui visual.”Pesan yang ingin disampaikan, kita bisa menghargai sejarah. Melalui visual yang di buat Om Paul,” ujar Galih. Selain itu, Galih berharap, anak muda dan warga lainnya bisa belajar dari seorang fotografer yang mengabadikan sebuah sejarah dunia.”Kita bisa belajar dari orang tua kita, seperti Om Paul. Kita bisa belajar banyak dan kita bisa menimba ilmu dari perjalanan hidupnya,” jelasnya.
Paul pun menceritakan suasana KAA 1955 saat ia masih menjadi fotografer. “Pada tahun 1955 belum banyak kendaraan yang lalu-lalang. Orang-orang berdiri di pinggir jalan melihat langsung para delegasi yang lewat,” ujarnya. Ia pun menjelaskan bahwa di tahun 1955 setiap delegasi yang lewat akan diumumkan melalui pengeras suara, sehingga suasananya sangat akrab.“Waktu itu saya merasa terharu karena bisa meliput konferensi besar, sedangkan orang lain tidak,” ujar Om Paul yang lahir di Surabaya 85 tahun silam itu.
Dua pameran berbeda yang digelar di Jakarta dan Bandung menjadi saksi, bahwa ingatan dan kenangan tidak mudah dihilangkan begitu saja. Begitu banyak cerita yang berusaha kekal lewat foto dan dokumen yang dihadirkan dari masa yang telah lampau. Keduanya terus menerus memelihara harapan untuk masa depan yang lebih cerah. (Paulus W. Prananta/St. Laurensia – Sub Komisi Sosial Budaya Keuskupan Bandung)