Salah satu lauk ‘murah meriah’ dan paling mudah diperoleh warga masyarakat pedesaan yang sudah memiliki pasar tradisional adalah ikan asin. Mereka dapat membeli ikan asin sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan mereka. Namun hal itu tidak berlaku bagi kami yang tinggal di tengah hutan Apo Kayan, khususnya di Desa Metulang dan Long Ampung. Ikan asin merupakan lauk yang sangat langka dan boleh dikatakan istimewa. Mengapa?
Pertama; kami tinggal di pegunungan di tengah hutan, jauh dari laut. Kedua; Tidak ada transportasi darat yang menghubungkan Apo Kayan dengan kota seperti Tanjung Selor, Tarakan, Malinau. Satu-satunya sarana transportasi untuk sampai ke Apo Kayan dari Malinau dan Tarakan adalah pesawat kecil (Susi air, maks 12 orang dan Aviastar, maks 18 orang).
Sebagian besar barang kebutuhan sehari-hari harus dibeli di Malinau atau Tanjung Selor. Sekarang sudah ada jalan darat yang menghubungkan Apo Kayan dengan Samarinda. Namun jaraknya jauh, kondisi jalannya tidak baik (masih dari tanah), dan biaya transportasinya mahal. Ini memaksa kami untuk berhitung semaksimal mungkin jika hendak membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Ketiga. Karena kesulitan di atas, maka warga Apo Kayan mencari lauk dalam hutan baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun untuk kebutuhan bersama, seperti; Natal, Paskah, perkawinan, dan lain-lain.
Jika warga masyarakat setiap saat bisa mencari lauk dalam hutan (berburu), maka kami yang ada di Pastoran Paroki St. Lukas Apo Kayan sangat menggantungkan diri pada ikan asin.
Maka kalau kami turun ke Malinau atau Tanjung Selor, kami harus membeli ikan asin. Konsumsi daging hanya bila ada orang datang (misalnya orang tua dari anak yang tinggal di pastoran St. Lukas Apo Kayan), menjual hasil buruannya. Karena persediaan ikan asin yang sangat terbatas, maka lauk kami pun hanya sepotong ikan asin dan sayur-sayuran.
Tak jarang, situasi tersebut membuat saya bersikap seperti orang Israel yang marah kepada Musa ketika mengadakan perjalanan di padang gurun Sin menuju tanah terjanji, ”Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan Tuhan ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang.” (Kej 16:2).
Namun sungut-sungut tersebut berubah menjadi ucapan syukur bila saya mengingat orang yang tidak dapat makan. Ingatan yang mengantar saya sampai pada kesadaran bahwa saya layak dan pantas bersyukur kepada Allah, karena saya masih bisa makan meskipun hanya dengan sepotong ikan asin. Masih ada orang yang hidupnya jauh lebih susah dari saya. Ada orang yang makan hanya dengan garam saja. Bahkan ada orang yang hanya bisa makan satu kali sehari. Oleh karena itu, sangat tepat bila kita menilai kehidupan kita dengan melihat secara cermat kehidupan orang-orang yang ada di sekitar kita. Yang pasti kita bukanlah orang yang paling menderita di dunia ini. Masih ada orang yang jauh lebih menderita di belahan dunia ini. (Noel, Pr. Pastor Paroki St. Lukas Apo Kayan-Keuskupan Tanjung Selor)