Malam itu, 19 Mei 2015… Langit pegunungan tengah Papua begitu terang oleh ribuan bintang. Saya sengaja keluar dari dalam rumah untuk menikmati cahaya bintang-bintang itu. Tiba-tiba saya terkejut dengan salah satu bintang yang cukup terang melesat jatuh. Kemudian perasaan saya menjadi sangat sedih. Tidak tahu mengapa… Terbersit di dalam benak saya tentang syair Tanah Nurani. “Tanah ini adalah tetesan embun surgawi, takkan ada air mata… takkan pernah ada duka.”
Dua minggu sebelumnya, Lintang menasihati saya melalui telepon, agar saya minum obat dan jangan galau. Sambil menanyakan kiriman hpnya yang ia hibahkan kepada saya. Seminggu setelah itu, saya menelpon Lintang. Tapi ia tidak mau mengobrol dengan saya. Dan hari itu saya mendapat kabar: Lintang sudah pulang ke “Rumah”. Kenapa Lintang harus pulang saat ini? Pertanyaan yang takkan pernah terjawab.
Lintang adalah Malaikat kecil tanpa sayap yang selalu bisa membuat saya dan orang-orang di sekitarnya menjadi bahagia dan mensyukuri kehidupan. Ia gadis kecil yang paling kuat yang pernah saya kenal. Kedewasaannya nyaris membuat saya merasa kecil. Dia adalah inspirasi bagi banyak orang. Karena Lintang, Bandung bisa memiliki Rumah Kita, rumah bagi para pejuang dan anak-anak hebat yang memiliki mimpi besar di dalam keterbatasan mereka.
Tiga dari tujuh tahun usianya, diisi dengan berjuang melawan kanker darahnya dengan senyum, keceriaan, dan semangat yang ia bawa untuk orang-orang di sekitarnya. Tiga tahun yang penuh sukacita bisa menjadi Om dan Kakak bagi Lintang. Dan tetap, Lintang adalah guru saya yang paling luar biasa.
Tujuh tahun yang menjadi sangat sempurna, ketika Lintang mengatakan, “Selesai” untuk semua hal terindah yang pernah ia hadirkan di dalam hidupnya: kegembiraan, cinta, dan harapan yang ia bagikan kepada siapapun yang mengenalnya.
Bagi saya Lintang adalah an instrument of God peace. Malaikat kecil yang membawa damai dari Tuhan. Seperti salah satu doa favorit saya dari St. Fransiskus dari Asisi, Jadikanlah Aku Pembawa Damai. Bagi saya Lintang menjadi sosok yang ada di dalam doa-doa itu.
Angelina Lintang Ayudiya, tujuh tahun lalu hadir ke dunia sebagai malaikat sambil membawa sinar terang melalui senyum cerianya. Dan saat pulang pun, ia tersenyum, meninggalkan semua hal terindah darinya itu bagi kita semua. Ia pulang, dan kini menjadi malaikat kecil bagi kami semua yang pernah mengenal Lintang.
Jasadnya telah diperabukan dan abunya disimpan dalam kolumbarium gereja St. Laurentius, tapi semangat dan jiwanya tetap ada di tengah kita. Requiescat in Pace, Angelina Lintang Ayudia… (Andreas Wahyu/Paman dari Lintang di Wamena, Papua)