Salah satu keluhan yang kerap terdengar mengenai tindakan para misionaris pada zaman dahulu adalah timbulnya beban yang harus ditanggung oleh generasi (imam) sekarang ini dalam mengemban tugas sebagai pewarta. Salah satunya adalah membagikan/memberikan sembako dan beberapa hal lainnya kepada umat dan warga masyarakat lainnya. Alasan mendasar pemberian tersebut adalah karena tuntutan kebutuhan hidup yang memang sangat sulit. Pemberian yang tak jarang juga menjadi sarana untuk meng-Katolikkan seseorang. Para misionaris rela berbagi kehidupan dengan orang-orang di sekitarnya sebagai salah satu bentuk perwujudan iman yang mereka wartakan.
Beberapa kali saya mendengar cerita bahwa Pastor A yang baru mendapat kiriman susu atau kedelai dari daerah asalnya seperti Belanda atau Belgia, membagi-bagikannya kepada umat dan warga masyarakat lainnya. Dan berkat kemurahan hatinya, ia pun dikenang. Tidak jarang saya pun berpikir dan berkesimpulan negatif kepada mereka, saat saya masih menjalani tugas perutusan di Keuskupan Bandung. Dengan kata lain, saya ikut mencela tindakan mereka itu. Mengapa? Karena saya tidak mengerti alasan yang sesungguhnya.
Namun setelah menjalankan tugas perutusan di Paroki St. Lukas Apo Kayan – di tengah hutan, saya memahami tindakan itu. Biaya hidup yang tinggi, keterbatasan sarana dan prasarana warga masyarakat Apo Kayan, membuka mata batin saya mengenai nilai dan makna perbuatan mereka. Situasi kehidupan masyarakat Apo Kayan juga menyadarkan saya bahwa adalah suatu perbuatan dan tindakan yang naïf bila saya mengadili dan menilai perbuatan seseorang sebelum memahami maksud dan tujuan tindakan/perbuatan tersebut, yang seringkali baru akan dimengerti di kemudian hari. Itu adalah tindakan yang tidak elok.
Mencela perbuatan/tindakan seseorang yang tidak memenuhi harapan dan keinginan kita, merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan bersama. Menurut ilmu psikologi, sikap tersebut merupakan cara untuk menutupi kelemahan dalam diri sendiri, mau mengungkapkan bahwa diri kita/saya jauh lebih hebat dan lebih mampu daripada pribadi yang bersangkutan. Kesimpulan yang fatal. Seharusnya, kita bertanya terlebih dahulu pada diri sendiri, apakah kita memang jauh lebih mampu dan baik dibandingkan dengan pribadi yang kita cela.
Mari kita menyadari dan menanamkan dalam hati bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna. Setiap orang memiliki keunggulan dan keterbatasan. Kekeliruan merupakan tindakan yang manusiawi, sejauh bukanlah unsur kesengajaan. Ingatlah pesan Yesus dalam Injil Lukas 6:42. “Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang ada di dalam matamu tidak engkau lihat?”
Anthony Dio Martin mengingatkan bahwa sifat menghakimi merupakan salah satu tanda rendahnya kecerdasan emosi seseorang. Ada beberapa ciri lain:
- Cenderung egois, terlalu berorientasi pada kepuasan diri sendiri, tidak peduli terhadap orang lain.
- Menjadi pendengar yang jelek, suka menginterupsi dan berdebat setiap saat. Ia tidak memberikan ijin kepada orang lain untuk mengungkapkan perasaannya, karena ia meyakini bahwa hanya dia yang benar.
- Memiliki tabungan emosi yang negatif terhadap orang lain.
- Lebih cenderung mendekati persoalan yang ada hanya dengan pikiran tanpa melibatkan perasaan. Misalnya menerapkan aturan yang berlaku dengan kaku (Bila A harus A, tanpa melihat adanya kemungkinan yang lain).
Sangat sulit menerima bahwa dirinya melakukan kesalahan, sulit meminta maaf secara tulus. Orang yang kecerdasan emosionalnya rendah, sangat sulit mengakui keberhasilan orang lain. (Smart Emotion-Volume I: Membangun Kecerdasan Emosi). (Noel, Pr. Pastor Paroki St. Lukas Apo Kayan – Keuskupan Tanjung Selor)