Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah, atapnya genting berlumut Di tepi rel kereta tak jauh dari stasiun Jatibarang. Rumah batu itu polos tanpa polesan material mewah. Pemiliknya jelas masih miskin. Tapi dia pasang tinggi bendera kebanggaannya. Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat depan rumahnya: kami juga pemilik sah republik ini. Kami percaya, di bawah bendera ini, suatu saat, kami juga akan sejahtera!
Yang miskin nyatakan cinta dan bangga pada negerinya. Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di bank, tapi tabungan contanya pada Republik ini luar biasa banyak. Negeri ini dicintai dan dibanggakan. Rakyatnya cinta tanpa syarat. Tiap memasuki bulan Agustus ada rasa bangga. Kemerdekaan diongkosi dengan perjuangan. Di tiap hela napas anak bangsa hari ini, ada tanda pahala para pejuang, para peritins kemerdekaan.
Republik ini didirikan bukan sekadar untuk menggulung kolonialisme tapi untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Untuk melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan rakyatnya, serta memungkinkan berperan dalam tataran dunia. Isi pembukaan UUD 1945 selama ini diartikan sebagai cita-cita. Cita-cita kemerdekaan adalah kata kunci paling tersohor. Istilah yang sudah jamak dipakai dalam mengilustrasikan tujuan republik ini. Tapi ada ganjalan fundamental di sini.
Cita-cita adalah harapan. Ia bisa tidak mengikat. Cita-cita bermakna keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran, sebuah tujuan yang hendak dilaksanakan. Bila tercapai, makan akan disyukuri. Jika tidak tercapai, bisa direvisi. Ada komponen ketidakpastian yang abstrak pada kata cita-cita. Indonesia hadir bukan sekadar untuk sesuatu yang di dalamnya mengandung komponen yang belum tentu bisa dicapai. Sudah saatnya tidak lagi menyebutnya sebagai cita-cita tapi mulai menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan.
Sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret, tidak abstrak dan uncertain. Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan mencerdaskan tiap anak bangsa. Hari ini janji itu telah dilunasi bagi sebagian rakyat. Sebagian rakyat sudah tersejahterakan, tercerdaskan, terlindungi, dan bisa berperan di dunia global.
Mereka sudah mandiri, tak lagi tergantung pada negara. Mulai dari soal kehidupan ekonomi keseharian, pendidikan, sampai dengan kesehatan. Ya pada mereka, janji kemerdekaan itu sudah dibayar lunas. Pelunasan janji itu bukan cuma tanggung jawab konstitusional negara dan pemerintah tapi juga tanggung jawab moral setiap anak bangsa yang kepadanya janji itu telah dilunasi, telah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan.
Saat Republik ini didirkan semua turun tangan menegakan Merah-Putih, menggulung kolonialisme. Ada yang sumbang tenaga, harta, dan banyak sumbangannya nyawa. Mereka menegakan bendera tanpa minta syarat agar anak-cucunya nanti lebih sejahtera dari yang lain. Itu bukan sekedar cita-cita. Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi dan dibawah kibarannya, jani kemerdekaan harus dilunasi untuk semua.
(red., diambil dari tulisan Anies Baswedan – Menteri Pendidikan Indonesia)