Syalom aleikhem. Selain dalam upacara kenegaraan, HUT RI dirayakan juga dalam liturgi Gereja Katolik di Indonesia sebagai solemnitas (hari raya). Kebiasaan ini mengikuti keputusan MAWI (kini KWI, Konferensi Waligereja Indonesia) tahun 1972. Kemerdekaan Indonesia disyukuri dalam liturgi sebagai rahmat Allah.
Lihatlah beberapa tempat, Misa disemarakan dengan aneka nyanyian wajib nasional khas 17-an: Hari Merdeka, Berkibarlah Benderaku, Andika Bayangkari, dsb. Semestinya, kalau mau patuh pada tata tertib liturgi Katolik yang sah, nyanyian wajib nasional terlarang dinyanyikan dalam Misa. Mengapa terlarang dinyanyikan dalam Misa? Jawabannya sederhana. Setidaknya ada dua jawaban. Pertama, Misa bukan upacara bendera atau kenegaraan. Kedua, nyanyian liturgi berbeda dengan nyanyian wajib nasional. Berikut ini pejelasannya.
Misa adalah kurban Kristus. Misa adalah perjamuan Tuhan. Misa adalah syukur yang agung atas karya Kristus. Dalam Misa, yang utama adalah Kristus. Ini berbeda ‘kan dengan upacara kenegaraan. Maka, sungguh keliru kalau dalam Misa, Kristus “tidak disebut” dalam aneka nyanyian yang dilantunkan. Nyanyian wajib nasional ‘kan tidak menyebut Kristus sama sekali. Kalau nyanyian wajib nasional tetap dilagukan dalam Misa, itu namanya “Jaka Sembung bawa golok, gak nyambung… (maaf, teruskan sendiri).”
Selanjutnya, mari mengerti bahwa suatu nyanyian diciptakan untuk tujuan tertentu. Nyanyian profan, pop, juga nanyian rohani sekalipun tidak begitu saja bisa dipakai untuk liturgi karena diciptakan BUKAN untuk liturgi. Ini intinya: Dalam liturgi, nyanyian pun adalah doa kepada Allah yang kita sembah. Jangan asal nyanyi dan asal lagu (khususnya waktu MISA HUT RI nanti).