13 September 2015
BcE. Yes. 50:5-9a; Mzm. 116:1-2, 3-4, 5-6, 8-9; Yak. 2:14-18; Mrk. 8:27-35
Dalam kebudayaan tertentu (khususnya kebudayaan Jawa dan Sunda), nama seseorang diyakini memiliki arti/makna tertentu. Karena itu, kebanyakan orang tua tidak akan sembarangan memberikan nama kepada anaknya. Dengan memberikan nama tertentu, orang tua anak tersebut berharap agar nasib anaknya kelak menjadi seperti arti/makna nama yang dimilikinya. Dalam hal ini, nama ibarat sebuah doa. Di sisi lain, nama adalah penegasan akan identitas seseorang.
Dalam bacaan Kitab Suci hari Minggu ini, Yesus mengajukan sebuah pertanyaan kepada rasul-Nya, “Menurutmu, siapakah Aku ini?” Pertanyaan sederhana ini memiliki makna yang mendalam. Pertanyaan ini diajukan Yesus guna meminta sebuah pengakuan dari para rasul-Nya mengenai identitas diri-Nya dalam perspektif para rasul-Nya. Dan jawaban yang ditutntut oleh Yesus, bukan sekedar jawaban biasa, yang dieroleh dari para rasul-Nya dari omongan atau mulut orang lain.
Jawaban yang dibutuhkan oleh Yesus adalah yang berasal dari dalam lubuk hati para rasul-Nya, terutama yang berasal dari pengalaman hidup nyata mereka bersama dengan Dia, Sang Guru. Dan dari sekian jawaban yang diberikan oleh para rasul, jabawan dari rasul Petrus sungguh menyentuh hati Yesus. Melalui serangkaian refleksi perjalanan hidup bersama sang Guru,, Petrus akhirnya menyadari dan mengakui bahwa Yesus adalah Mesisias (Putera Allah).
Untuk kita renungkan: jika pertanyaan yang sama, diajukan Yesus kepada saya dan Anda, kira-kira apa jawaban kita kepada-Nya? Selamat merenungkan.
(Carlos/St. Aloysius Gonzaga)