Seringkali kita mendengar pertanyaan tersebut di sela-sela perbincangan baik dengan rekan sejawat, diskusi rohani, dalam kondisi tertekan maupun berduka, bahkan pertanyaan polos anak kecil! Kerapkali membuat kita semakin merenung, bagaimana wujud doa itu dalam kehidupan sehari-hari. Padahal doa menjadi bagian yang sesensial dalam kehidupan manusia beragama, berperan penting untuk kelangsungan dan perjalanan hidup manusia. Untuk itu, ia kan berdoa saat akan melakukan segala sesuatu agar memperoleh selamat dan sejahtera.
Apa pengertian doa? Menurut kamus besar bahasa Indnesia, doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Sedangkan berdoa berarti mengucapkan (memanjatkan) doa kepada Tuhan. Doa berarti suatu permohonan yang ditunjukan kepada Allah yang di dalamnya ada harapan, permintaan dan pujian. Menurut Xavier Leon Dufour; Theolog Heust dan ahli kitab suci, dalam bukunya Ensiklopedi Perjanjian Baru, doa dalam bahasa Yunani mempunyai beberapa arti diantaranya adalah aiteo yang berati meminta. Deomai (dengan menegaskan kebutuhan konkret), erotao: menghimbau (dengan menegaskan kebebasan si pemberi): kata-kata ini dipakai baik di bidang-bidang profan maupun keagamaan, namun mengandung ide meminta dengan sangat dan mengemis.
Menurut pengalaman rohani St. Theresa dari Lisieux, doa adalah: “suatu gelora, sentakan dalam hati, sebuah pengelihatan kembali untuk ke depan menuju tahta surgawi, sebuah keritan pengetahuan akal budi dan cinta yang memeluk keduanya dalam suatu cobaan dan sukacita”. Jadi bagaimana menumbuhkan gelora dan sentakan dalam hati itu di dalam lingkungan dan keluarga kita terutama di kalangan anak-anak muda Katolik?
Berdasarkan hasil riset Barna Group, banyak kaum muda terutama di barat sudah tidak lagi aktif di gereja, berati semakin jarang berdoa. Ini merupakan keprihatinan sendiri bagi kita. Aktifitas ini menurun ketika mereka berusia 20-an tahun. Selain mulai sibuk merintis karier, faktor penting yang mempengaruhi adalah situasi peradaban di mana mereka tinggal. Terdapat perubahan jaman yang sangat cepat, terutama selama +/- 10 tahun terakhir ini dalam bidang media massa, teknologi, seksualitas, dan ekonomi, hal ini menambah kompleksitas dan ketidakpastian dalam masyarakat di kalangan anak muda seperti kemudahan akses, keterasingan di luar struktur keluarga tradisional dan terbentuknya skeptisme terhadap institusi yang dahulu membentuk masyarakat sekelilingnya.
Beberapa kaum muda merasa frustasi dan beranggapan bahwa Gereja mengekang kreativitas dan ekspresi diri, sementara yang lain merasa bosan, dangkal dan hampa. Ini dikarenakan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak disertai dengan kemajuan pemikiran teologis iman dalam dirinya. Keluarga, sekolah dan Gereja adalah tempat pertama untuk membangun keakraban dengan Allah walaupun masyarakat luas di sekitarnya justru cenderung menjauh dari Allah. Keluarga, begitu pula sekolah dan Gerejja merupakan jembatan antara setiap anak dan masyarakat. Iman mereka yang menjadikan semua anggota keluarga Katolik dipanggil dan diutus untuk mengusahakan, memelihara dan meningkatkan persahabatan dengan Bapa melalui perantaraan Kristus dan dengan bantuan Roh Kudus.
Karena itu, setiap keluarga harus berusaha mengajarkan kepada anak-anaknya untuk terbiaa berjumpa dan lebih dekat dengan Tuhan, melalui doa dan iman kepercayaan Katolik. Misalkan: doa bersama, berdevosi, membaca Kitab Suci, dan buku-buku rohani lainnya. Dengan ini, setiap anak akan termotivasi terus menerus mengembangkan iman mereka sehingga dapat membentuk mereka menjadi pribadi yang dewasa. Melalui doa yang menggelora tersebut berkat Allah mengalir, sehingga mendapatkan kemenagan terhadap segala problematik yang sedang dan akan dihadapinya di masa-masa perkembangan mereka.