Hari Minggu Biasa XXX
23 Oktober 2016
BcE.Sir. 35: 12 –14,16 – 18;2Tim. 4: 6– 8, 16– 18;Luk.18 :9 – 14
Salah satu tokoh yang sangat dinantikan aksinya dalam sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”, adalah Haji Muhidin, seorang tokoh antagonis. Ia selalu merasa dirinya adalah orang yang paling benar dan paling suci dibandingkan denganorang-orang disekitarnya. Aksinya membuat ia sangat dibenci sekaligus sangat dirindukan.
Ternyata bacaan-bacaan Kitab Suci hari Minggu ini, mengangkat tema tentang tipe manusia seperti haji Muhidin. Dalam bacaan pertama (Sir.35:12–14,16–18), disampaikan bahwa Allah mendengarkan doa-doa orang yang “terjepit”: anak yatim dan para janda yang tertindas. Ia adalah Allah yang berkenan kepada mereka yang berbakti kepada-Nya. Sedang kan dalam bacaan Injil(Luk.18:9-14), Yesus mengeritik orang Farisi yang selalu merasa dirinya benar di hadapan Allah. Bagi Yesus, orang dengan tipe seperti ini, yang menyombongkan diri dihadapan Allah, merupakan musuh bagi perkembangan rohaninya. Dia tidak menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, tetapi sebagai seorang yang layak mendapatkan karunia Allah atas apa yang memang seharusnya ia lakukan. Ia juga merasa dirinya lebih baik/lebih suci, sehingga merasa diri pantas untuk menghina orang lain (pemungut cukai).
Sebaliknya, Yesus memuji pemungut cukai yang rendah hati itu. Ia menyadari kedosaannya, sehingga merasa diri tidak pantas dan tidak layak dihadapan Allah. Doa si pemungut cukai merupakan salah satu sumber dari doa Yesus yang kuno, “Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah, kasihanilah kami orang berdosa.” Karena itu, Yesus menegaskan bahwa doa pemungut cukai itulah yang berkenan kepada Allah.
Semoga kita dapat belajar dari kisah-kisah diatas. Bersikap rendah hati dan mengakui segala dosa dan kelemahan kita adalah sikap yang mulia, dibandingkan merasa diri benar dan paling suci dihadapan Allah. Selamat merenungkan! (Carlos/St.Aloysius Gonzaga)