Apa yang kita pikirkan kalau mendengar kalimat, “Mau bangun Gereja nih, bantu doa dong!”. Mungkin sebagian dari kita segera melakukannya, ikut mendoakan berdirinya sebuah Gereja baru. Selanjutnya, pihak yang bersangkutan akan mengajukan perizinan untuk membangun gereja (IMB). Di tahap ini, apakah yang biasanya terjadi (di kalangan luar gereja) apabila kita berkata ‘mau bangun gereja’? Mudahkan bagi kita dan kaum beragama lain yang bukan mayoritas untuk mendapatkan IMB sebuah rumah ibadah? Kenyataan tidak, teman-teman muda.
Sering kita mendengar berita, jika ada yang mau membangun rumah ibadat (khususnya Gereja) sangat sulit karena harus melewati proses ini dan itu yang panjang. Ada juga di beberapa daerah yang pernah saya jumpai, dimana akan dibangun Gereja, ada spanduk yang dipasang bertuliskan “kami menolak keras pembangunan Gereja di wilayah kami”. Selain itu saya juga mendengar kabar kalau mereka sebenarnya sudah mendapat IMB, namun warga menuntut pejabat setempat mencabut IMB karena mereka menganggap pendirian Gereja berarti Kristenisasi. Membiarkan umat beragama lain mendirikan rumah ibadat merupakan perbuatan dosa, pikir mereka. Apakah benar demikian?
Indonesia memiliki hukum demikian “hak untuk menganut suatu agama dan menjalankan ibadat sesuai dengan agamanya adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” (Pasal 22 UU no.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Ada juga Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9/2006 dan No.8/2006 yang mengatur persyaratan pendirian rumah ibadat. Salah satu syaratnya (diatur dalam Pasal 14 ayat 2) adalah adanya dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Semangat dari peraturan bersama 2 menteri adalah pemeliharaan kerukunan beragama.
Dengan adanya berbagai agama di Indonesia, diharapkan masyarakat indonesia dapat memelihara kerukunan umat beragama sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Bersama 2 Menteri: “Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.
Melihat dasar hukum demikian, perbuatan apakah yang seharusnya mereka (pihak yang menolak) lakukan? Haruskah mereka malah menolak dengan cara demikian, juga menyebarkan isu Kristenisasi yang tidak jelas? Semoga tulisan pendek ini bisa membuka sedikit pikiran kita tentang kondisi pembangunan rumah ibadat di Indonesia.
Suatu inspirasi, seperti yang guru PPKn saya pernah katakan kepada saya: “Bangun Gereja memang sulit, tapi Gereja bukan sekedar bangunan. Maka yang penting bangunlah Gereja di hatimu”.