Syalom aleikhem.
Setiap 2 November, Gereja Katolik mendoakan arwah semua orang beriman. Tulisan kali ini menceritakan mereka yang “ditinggal mati”. Sumber kisah: Kitab Rut 1:1-17. Sepasang suami-istri, Elimelekh dan Naomi, terpaksa mengungsi. Mereka harus pergi dari tanah Kanaan karena bencana kelaparan. Awalnya mereka tinggal di Betlehem. Lalu, mereka merantau ke wilayah Moab. Letak Moab adalah di sebelah tenggara Kanaan. Moab adalah wilayah bangsa lain, tidak termasuk tanah terjanji. Bagi orang Israel, tinggal di tanah terjanji adalah anugerah istimewa. Orang Israel takkan meninggalkan tanah yang dijanjikan kalau tidak terpaksa. Elimelekh dan Naomi terpaksa pergi. Kalau tidak, mereka bisa mati kelaparan. Maka dari itu, mereka pergi bersama kedua anaknya: Mahlon dan Kilyon.
Adat kebiasaan Israel menyatakan bahwa mereka harus mendapatkan pasangan hidup dari orang sebangsa. Kedua anak Naomi ternyata mendapatkan pasangan hidup orang Moab. Apa boleh buat. Mereka jauh dari tanah terjanji. Yang ada hanya orang Moab. Tiada pilihan, keduanya mengawini orang Moab. Jadilah ada menantu-menantu dari Moab, yaitu Orpa dan Rut. Waktu tinggal di Moab itu, Elimelekh meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, kedua anaknya mati pula.
Tinggal tiga orang, yaitu Naomi, Orpa, dan Rut. Rupa-rupanya hidup mereka di tanah Moab juga tak kunjung membaik. Kalau zaman sekarang, dikatakan mereka mengalami kesulitan ekonomi. Sebagai janda, Naomi tidak bisa berbuat apa-apa. Janda zaman kuno sangat bergantung pada suami. Kalau
suami seorang kaya yang meninggalkan banyak warisan, amanlah kehidupan si janda. Namun, Elimelekh tidak kaya. Ia tidak meninggalkan warisan yang mencukupi bagi Naomi. Bertambahtambah sulit kehidupan Naomi. Di tanah asing, tidak ada jaminan baginya. Satu-satunya jalan adalah kembali ke tanah terjanji. Setidak-tidaknya, di sana akan ada sanak keluarga yang membantunya. Apalagi, dikabarkan bahwa Kanaan sudah pulih dari bencana kelaparan. Ada kehidupan yang lebih baik di sana.
Naomi memutuskan pulang. Kedua menantunya ikut. Di perjalanan, Naomi melarang keduanya ikut lebih jauh. Ia menyuruh mereka kembali. Mengapa? Tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari Naomi. Harta tidak ada, kesejahteraan belumlah jelas. Saran Naomi masuk akal. Kalau Orpa dan Rut ikut Naomi pulang, tidak ada jaminan mengenai kesejahteraan mereka. Sebagai janda, Orpa dan Rut sangat bergantung pada bantuan orang lain. Naomi tak dapat membantu. Kalau Orpa dan Rut pulang ke rumah ayah-ibu mereka di Moab, sekurang-kurangnya akan ada bantuan dari sanak kerabat. Naomi sudah tidak dapat diharapkan memiliki anak lagi. Menurut adat Yahudi, jika seorang laki-laki meninggal tanpa mempunyai anak laki-laki, jandanya harus menikah dengan saudara mendiang suaminya (lihat Ul. 25:5-6). Naomi tidak punya anak lagi. Jelas sekali, Orpa dan Rut terancam telantar.
Jadi, saran Naomi itu benar adanya. Orpa dan Rut harus balik kalau mau “selamat”. Singkat kata, Orpa berbalik menuju Moab. Namun, Rut tidak. Mengapa? Padahal, tiada lagi harapan pada Naomi. Rut takkan mendapatkan apapun dari Naomi. Lalu, mengapa ia bersikeras ikut Naomi? Kiranya kunci jawaban ada pada relasi mereka berdua. Begitu dekat, begitu indah relasi mereka. Itu tecermin dari kata-kata Rut, “Bangsa ibu adalah bangsa saya.” Rut begitu melekat pada Naomi. Relasinya dengan Naomi mengalahkan “ancaman” apapun. Begitu dekatnya mereka hingga Rut mengatakan ingin mati di tempat Naomi mati. Relasi Naomi dan Rut tidak lagi sekadar relasi mertua dan menantu. Lebih dari itu, relasi mereka didasari pada belas kasih. Rut tak mau kehilangan Naomi.
Ia pasti tak tega membiarkan Naomi sebatang kara. Ia mau dekat dan erat dengan Naomi seumur
hidupnya. Relasi Rut dan Naomi sungguh indah.