Pernah dengar nama Santo Ivo dari Kermartin? Santo yang tidak begitu dikenal di kalangan umat ini, dihormati sebagai pelindung para ahli hukum yang membela keadilan. Lahir pada tahun 1253, St. Ivo atau Yvo atau Ives adalah imam paroki dan ahli hukum. Beliau dikenal sebagai pembela orang-orang miskin yang tertindas di depan pengadilan. Dulu, dunia peradilan tidak seteratur seperti saat ini.
Awal abad pertengahan di Eropa, fungsi pengadilan belum terpisah dari fungsi legislatif dan administratif. Raja, penguasa, dan kepala penasihat duduk bersama dalam aula membahas urusan ini. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya dunia peradilan saat itu. Baru sejak abad ke-12, seiring banyaknya warga negara yang menyelesaikan pendidikan tinggi dan banyak profesi hukum diakui, terjadi perubahan fungsi secara nyata.
Nyatalah, sejak dahulu keadilan sudah menjadi dambaan setiap insan. Sayangnya, hingga saat ini keadilan ideal sering sulit tergapai. Keadilan disyaratkan sebagai hal yang bebas dari penilaian subjektif. Maka sejak dulu sudah ada tamsil: “Keadilan itu buta“. Ungkapan yang mungkin tumbuh dari harapan bahwa dalam kondisi tidak melihat, hakim bisa membawa keadilan mencapai derajatnya yang tinggi. Ada juga anggapan tamsil itu berasal dari sejarah peradilan Inggris. Independensi hakim yang tidak pernah dipengaruhi oleh pertimbangan pribadi, prasangka, atau simpati terhadap seseorang.
Salah satu monumen terkenal di dunia yang menggambarkan “wujud” keadilan, terdapat di Pusat Pengadilan Kriminal London, mengambil wujud orang buta sehingga neraca di tangannya mustahil untuk dilihat. Tersimpan pesan, “hakim seharusnya tidak memihak“. Bebas perasaan suka atau tidak suka. Ketika hakim diintimidasi oleh kekuasaan atau diiming-imingi harta. Juga ketika “Sang Pengadil” dipengaruhi rasa kasihan atas ketidakberdayaan dan kemiskinan seseorang. Keputusan hakim hanya didasarkan pada bukti-bukti.
Barangkali benar keadilan itu “buta”. Seandainya bisa melihat, mungkin “dia” akan kecewa mendapati kenyataan bahwa ada banyak hal di negeri kita ini dilakukan dengan mengatasnamakan “namanya”. Contohnya kasus Bahtiar, serang petani di Sinjai Barat. Ia harus mendekam di Polres Sinjai sejak Oktober 2014. Ia dituduh menebang pohon di hutan produksi terbatas. Sejatinya, pohon itu berada di kebunnya sendiri. Ia tanam sendiri. Malang, sebab atas nama hukum, Bahtiar harus dipenjara. Nampaknya, pohon kini bukan lagi perkara sepele. Ia bisa menjelma menjadi jeruji besi.
Kasus Bahtiar menyeret pikiran kita kepada Nenek Asyifa. Seorang nenek berusia 63 tahun. Ia dituduh mencuri enam batang pohon jati milik Perhutani Situbondo. Seperti Bahtiar, dalam pengakuannya, pohon-pohon tersebut adalah miliknya sendiri. Tetapi atas nama keadilan hukum, Nenek Asyifa dituduh melanggar hukum. Begitu juga dengan kasus Nenek Minah (2009). Dia dituduh mencuri tiga buah kakao di kebun P.T. Rumpun Sari Antan, Banyumas. Nenek Minah menghadiri proses pengadilan dengan patuh. Hampir setiap persidangan, ia harus mengeluarkan uang transport sebesar 50 ribu.
Tak ada maksud menilai keadilan sebesar 20 ribu, 50 ribu, sejuta, dua pohon, atau enam pohon. Keadilan tetaplah keadilan. Dan keadilan adalah nyawa dari hukum itu sendiri. Meski, tak ada rumusan baku tentang apa dan bagaimana itu keadilan. Namun pengadilan tidak berguna, jika keputusan-keputusan yang dihasilkan jauh dari rasa keadilan. Tetapi kita memiliki parameter yaitu hati nurani. Apa pun yang dibisikkan oleh hati nurani, di situlah kejujuran. Kejujuran yang mestinya menjadi sumber keadilan, itulah yang selalu menjadi prinsip Santo Ivo.
Ada pepatah bijak, “Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun Langit akan runtuh, tapi di manakah keadilan bila hati nurani tak pernah mengusik malam-malammu”.