Kebebasan eksistensial dan sosial dijadikan landasan berpijak bagi setiap orang dan hakim di lembaga peradilan untuk membuat sikap dan tindakan dalam berbagai bentuknya secara independen. Namun landasan tersebut juga harus dibarengi dengan nilai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Harus disadari, seorang hakim adalah menjadi Tuhan dalam lembaga peradilan. Keputusan seorang hakim dapat menyelamatkan ataupun menghancurkan seseorang.
Oleh karenanya, nilai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan menjadi penting. Pada hakekatnya, independensi dan kemandirian hakim dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturanaturan hukum itu sendiri. Hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat bertindak contra legem (berlawanan dengan hukum). Kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan seutas tali yang disebut pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Kedua hal tersebut, independensi dan akuntanbilitas, pada dasarnya seperti sekeping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Karena pada dasarnya tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan kata lain, independency of judiciary haruslah diimbangi dengan pasangannya, yaitu judicial accountability. Dan yang perlu disadari adalah social accountability yaitu pertanggungjawaban pada masyarakat karena pada dasarnya, tugas-tugas peradilan maupun badan-badan kehakiman adalah melaksanakan public service di bidang keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan.
Penilaian mengenai putusan hakim yang bertanggung jawab dapat dicocokkan dengan tingkat kepuasan masyarakat selaku pemberi kebebasan sosial, dengan menimbang apakah putusan hakim itu telah memenuhi rasa keadilan atas kebebasan sosial yang dilanggar oleh orang yang dikenai putusan tersebut. Seorang hakim akan mampu memuaskan tuntutan itu sejauh ia menggunakan kebebasan eksistensialnya, dan dalam membuat keputusan memperhitungkan objektivitas tindakan. Objektivitas seorang hakim hanya dimiliki ketika seorang hakim menggunakan moral otonomnya untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab.
Pertimbangan lain yang tentunya tak kalah penting adalah membiarkan sejenak suara hati berbicara. Suara hati mutlak yakni bahwa tuntutannya tidak dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan-pertimbangan untung rugi, kegalauan, ditolak oleh pendapat orang lain, dan perintah berbagai otoritas oleh tuntutan ideologi atau perasaan kita sendiri.
Suara hati memuat tuntutan mutlak untuk selalu bertindak baik, jujur, wajar, dan adil (menurut Magnis-Suseno). Dalam kerangka teori kebebasan menurut Magnis-Suseno, bahwa seorang hakim di dalam membuat keputusan harus berdasarkan pertimbangan yang matang dengan berangkat dari kebebasan eksistensialnya yang mendapat tempat dalam kebebasan sosial yang diberikan. Pertimbangan lanjutannya bahwa putusan yang dibuat oleh hakim harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan pertimbangan tersebut, hakim akan dapat menghasilkan putusan yang memuaskan kebebasan eksistensialnya pada satu sisi, memuaskan kebebasan sosialnya, memuaskan rasa keadilan, dan memuaskan orangorang yang merasa dipuaskan.