Suara hati adalah suara yang berasal dari kedalaman hati atau pusat kedirian seseorang, yang menegaskan benar-salahnya suatu tindakan atau baik-buruknya suatu kelakuan tertentu, berdasarkan suatu prinsip atau norma moral. Suara itu sering dikaitkan pula dengan suara yang berasal dari luar diri manusia dan sekaligus mengatasi kewenangan manusia untuk menolak atau mengabaikannya. Dalam kaitan dengan ini, suara hati seringkali disebut suara Tuhan sendiri. Seperti pernah dinyatakan oleh John Henry Newman (1801-1890), karena sifat kemutlakkan penegasan atau tuntutannya, suara hati merupakan suatu gejala manusiawi yang mengatasi keterbatasan manusia dan menunjuk pada realitas yang mengatasi manusia, yakni Allah sendiri sebagai Yang Mutlak.
Demikianlah dalam gejala suara hati sekaligus ditemukan unsur dari dalam diri seseorang yang amat pribadi dan unsur dari luar yang mengatasi kewenangan manusia untuk menolak atau mengabaikannya. Suara hati memiliki ciri personal dan adi personal. Secara etimologis, suara hati, yang dalam bahasa Latin disebut conscientia, berasal dari akar kata conscire yang berarti “mengetahui bersama” atau “turut mengetahui”. Suara hati adalah instansi yang “turut mengetahui” perbuatan-perbuatan moral kita dan menjatuhkan penilaian terhadapnya. Suara hati menjadi “saksi” dan sekaligus “hakim” yang menjatuhkan penilaian dan putusan atas perbuatan-perbuatan kita. Penegasan suara hati mendasarkan diri pada pengetahuan tentang hukum moral yang bukan ciptaan atau berasal dari manusia sendiri, melainkan suatu hukum yang sudah ditetapkan atau digoreskan dalam hati setiap insan oleh Sang Pencipta. Manusia sebagai makhluk rasional ambil bagian dalam pengetahuan atau kebijaksanaan Sang Pencipta. Inilah yang membuat manusia sadar dan bebas.
Berkat rasionalitasnya, manusia menyadari bahwa hukum yang ditetapkan dari luar oleh Sang Pencipta itu sekaligus merupakan ketetapannya sendiri dari dalam. Inilah yang menjamin kebebasannya. Manusia dalam arti tertentu menetapkan hukum untuk dirinya sendiri. kewajiban moralnya dalam situasi kongkrit atau penegasan tentang benar-salahnya suatu tindakan manusia dalam situasi tertentu berdasarkan hukum moral. Sebagai suatu kesadaran, suara hati mengandaikan adanya pertimbangan akal budi, dan bukan sekedar ungkapan perasaan spontan belaka. Kesadaran tersebut memang seringkali bersifat spontan, dalam arti munculnya tidak dapat dikendalikan menurut kemauan seseorang dan merupakan suatu endapan kesadaran akan nilai yang sudah dibatinkan sejak kecil. Kesadaran tersebut menegaskan apa yang menjadi kewajiban moral (tindakan mana yang baik yang harus/wajib dilakukan dan mana yang buruk yang harus/wajib dihindarkan) oleh seseorang dalam situasi kongkrit. Suara hati menjadi pedoman atau pegangan moral manusia dalam situasi konkret saat ia harus mengambil keputusan untuk bertindak.
Bagaimana dengan seorang hakim dihadapkan dengan suara hati? Siapakah hakim? Apa kuasanya? Menurut pasal 1 Undang Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam siding suatu perkara dengan menjunjung tinggi 3 asas peradlan yaitu sederhana, cepat,dan biaya ringan. Sejatinya, hakim dan peradilan bertindak sebagai penafsir utama norma hukum yang masih bersifat abstrak generalis ke dalam peristiwa konkret yang terjadi.
Profesi hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh ke dalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri. Di sinilah suara hati dibutuhkan…