Bila orang merenungkan janji setia pernikahan, pada jaman sekarang ini senantiasa dihadapkan pada tantangan jaman. Kesetiaan akan janji untuk senantiasa berani saling menyerahkan diri, mencintai, dan menghormati pasangannya seumur hidup dalam keadaan apa pun juga, merupakan perjuangan yang tiada akhir. Janji yang dengan mudah diucapkan, dalam keadaan konkrit-nyata senantiasa dikonfrontasikan dengan kemauan dan kehendak yang lain, yang menggoda, yang memberikan tawaran lain, dan yang mungkin lebih menyenangkan, sekalipun tidak pasti membahagiakan.
Janji yang didasari kemauan bebas dan tidak dapat ditarik kembali untuk diceraikan. Karena apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Hal ini juga merupakan tantangan di jaman sekarang ini. Upacara Pernikahan dalam bentuk janji setia itu dipandang sebagai tindakan Tuhan yang mempersatukannya, bukan hanya ritual buatan manusia saja. Upacara itu mendapat nilai sakralnya dan diyakini bahwa Tuhan bertindak atas peristiwa itu. Hal ini diajarkan oleh Gereja Katolik dan dipercayainya sebagai tindakan yang tidak dapat dibatalkan oleh manusia, dengan alasan apa pun juga. Tuhan bertindak, maka manusia harus percaya, yakin, dan mengikutinya. Kalau tidak mengikuti, maka akan melanggar apa yang ditetapkan Tuhan. Oleh karena itu, dalam ajaran Katolik, tidak dikenal adanya perceraian. Dikenal adanya perpisahan sementara saja, tetapi perceraian tidak pernah diijinkan. Perceraian dipandang sebagai tindakan melanggar ajaran Tuhan, dan cacat dalam kehidupan sosial di Gereja Katolik. Tentu saja hal ini merupakan hal yang ideal. Dalam kenyataannya, de facto, ada banyak perceraian dalam keluarga Katolik, tetapi Gereja Katolik tidak mau mengenalnya sebagai perceraian.
Sendi-sendi pernikahan, khususnya janji setia pernikahan, pada jaman yang serba maju ini harus memberikan jawaban yang meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kedua belah pihak sudah tidak mungkin dipersatukan kembali, apakah mereka dipaksa tetap bersatu? Kesatuan cintakasih sudah hancur, dan perceraian sipil sudah terjadi, apakah kesatuan perkawinan kristiani masih harus diupayakan dengan segala cara agar tidak bercerai? Kelemahan manusiawi banyak kali menjadi tantangan cita-cita yang ideal. Tindakan untuk saling setia secara eksklusif, seumur hidup, dan mengasihi serta menghormati satu sama lain, dengan demikian bukan lagi dua insan yang ada, melainkan menjadi satu kesatuan utuh tak terceraikan, sungguh merupakan suatu yang sangat ideal dalam ajaran Gereja Katolik. Namun hal ini bukanlah secara otomatis terjadi, tanpa adanya usaha dan perjuangan untuk tetap memelihara kesatuan itu.
Tantangan untuk meragukan janji setia itu pun dalam kalangan Katolik cukup banyak, sekalipun tantangan itu tidak benar menurut ajaran Gereja Katolik. Pada jaman sekarang ini ada sementara orang yang mulai bertanya-tanya: mungkinkah masih perlu adanya janji setia yang seumur hidup? Atau, mungkinkah ada janji setia yang sementara saja, yang sifatnya percobaan? Kalau cocok dan kiranya dapat dijalin secara abadi diteruskan, tetapi kalau tidak sesuai dan tidak dapat bersatu hati secara kekal, apakah masih perlu diteruskan? Mungkinkah di jaman sekarang ini akan muncul perkembangan ajaran: Janji setia dibatasi waktu, sampai cocok, dan kalau tidak cocok selesailah sudah persatuan itu? Pertanyaan yang tentunya akan menggoncangkan sendisendi hidup berkeluarga. Satu kali pernikahan, untuk seumur hidup, dan hubungan itu eksklusif. Ajaran ini diyakini sudah final dan mengikuti ajaran Yesus.