Pernah dengar slogan tersebut? Biasanya yang sering kita dengar dalam kehidupan berkebangsaan umat Katolik adalah Pro Ecclesia et Patria yang artinya Untuk Gereja dan Tanah Air. Per Ecclesiam pro Patria berarti: melalui Gereja untuk Negara. Slogan ini dikumandangkan oleh pahlawan Nasional dan Gereja, Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J., selain slogan lain yang sangat dikenal yaitu 100% Katolik 100% Indonesia. Apa yang melatarbelakangi beliau mengutarakan hal tersebut?
Kondisi Indonesia masa tersebut yang masih bergulat dengan kemerdekaan dan pengakuan sebagai suatu bangsa adalah salah satunya. Bagaimana dengan kondisi sekarang? Apakah masih relevan dengan situasi dan kondisi bangsa saat ini? Tentu saja masih! Gereja adalah kumpulan orangorang yang dibaptis menjadi anggota tubuh Kristus dan dengan caranya masing-masing mengemban tri-tugas Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja. Itu berarti Gereja ada di dalam dunia dan bertugas menggarami dan menerangi dunia dengan Injil Kristus (Mrk. 16: 15).
Gereja berhubungan erat dengan dunia dewasa ini yang dalam ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja di dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, no. 1 dinyatakan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga“. Satu hal yang bisa diambil dari ajaran ini adalah saatnya tiba kita bertindak, beraksi bukan berbicara, berwacana saja.
Hal yang sama ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam sambutannya pada tanggal 1 Januari 1985, “Sudah saatnya kita mengubah kata-kata menjadi tindakan. Tiap individu, masyarakat, dan keluarga, penganut agama, organisasi-organisasi nasional dan internasional, hendaknya mengakui bahwa mereka terpanggil untuk memperbaharui komitmen mereka: bekerja bagi perdamaian“. Inilah seruan politik dari pemimpin Gereja Katolik bagi dunia. Sejalan dengan itu, pedoman Gereja Katolik Indonesia hasil sidang agung KWI-Umat 1995 menegaskan bahwa umat Katolik merasakan segala kegembiraan dan harapan yang serupa dengan kegembiraan dan harapan seluruh rakyat Nusantara. Orang Katolik ikut bergembira dengan keberhas i lan pembangunan dan i kut bertanggungjawab atas kekurangannya. Dalam segala pergulatan itu, umat Katolik dipanggil menjadi saksi Kristus mewartakan datangnya Kerajaan Allah baik dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat apalagi bila diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin.
Contoh yang paling dekat tentu menjadi pemimpin atau pengurus RT/RW di daerah sekitar kita, pengurus gerakan kepemudaan atau wanita pun juga adalah bagian dari semangat membangun bangsa. Dalam kita memimpin hendaknya berpedoman kepada kearifan yang sudah teruji dari Mgr. Soegijapranata yang menyatakan: 1. In Principiis Unitas: Dalam soal prinsip: persatuan. 2. In Dubiis Libertas: Dalam halhal yang masih terbuka: kebebasan. 3. In Omnibus Caritas: Dalam segala hal: kasih. Kehidupan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai warga negara yang baik, umat Katolik harus juga memiliki kewajiban ikut terlibat dalam memperjuangkan kebaikan umum (Bonum commune) yang merupakan representasi bagi karya keselamatan Allah yang nyata di dalam konteks hidup sosio-politis umat di tingkat basis. Politik harus berpihak kepada manusia. Kesejahteraan umum tidak berarti mengorbankan kepentingan individu. Politik adalah sarana untuk mengangkat (humanisasi) hidup manusia. Inilah politik yang benar yakni membebaskan dan memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan, kekerasan politik, manipulasi, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan dalam kehidupan bersama. Jadi siapkah Anda tampil menjadi pemimpin?