Disadari atau tidak, DOA adalah unsur vital dalam hidup orang beriman. Doa adalah nafas hidup yang harus dilakukan setiap hari oleh orang beriman. Orang beriman yang tidak pernah berdoa, ibarat orang hidup tidak bernafas lagi, kalau tidak mati ya koma.
Dalam Gereja Katolik ada 3 macam doa, yakni: doa-doa liturgis, doa-doa tradisi Gereja, dan doa-doa pribadi. Doa liturgis adalah ungkapan iman resmi Gereja yang tidak bisa diubah ubah dan menjadi bagian tetap liturgi. Contoh: Doa Syukur Agung dan Ibadat Harian. Doa tradisi (Latin: tradere) adalah doa yang diwariskan dari waktu ke waktu. Didoakan secara pribadi maupun bersama-sama, pada kesempatan khusus maupun sebagai doa rutin. Doa pribadi adalah doa yang keluar dari kata-kata dan hati, diucapkan/diungkapkan secara spontan, tidak harus mengikuti rumus-rumus tertentu. Biasanya doa pribadi lebih hidup, karena sesuai dengan kondisi batin seseorang atau dengan konteks hidup beriman yang aktual.
Tradisi doa dalam keluarga sudah ada sejak Perjanjian Lama. Setiap hari raya Paskah Yahudi, seorang bapak keluarga wajib memimpin ibadat keluarga dan memberikan katekese kepada seluruh anggota keluarga tentang makna Paskah Yahudi, yakni perayaan exodus bangsa Israel dari perbudakan di Mesir (bdk. Kel. 12:1-8.11-14).
Gereja memiliki warisan doa-doa yang sangat indah dan mendalam, baik dari Perjanjian Lama (seperti doa-doa Mazmur) maupun dari Perjanjian Baru (seperti Doa Bapa Kami, Salam Maria, dll.). Kekayaan iman itu tidak akan berguna, kalau tidak kita manfaatkan. Maka harus dibangun dalam seluruh Gereja untuk menciptakan kebiasaan atau habitus doa dalam keluarga. Hari-hari penting dalam keluarga seperti ulang tahun perkawinan, ulang tahun kelahiran, saat salah seorang anggota keluarga membutuhkan dukungan, adalah kesempatan yang sangat baik untuk melakukan doa bersama. Adalah baik sekurang-kurangnya 1 minggu sekali keluarga mengadakan doa bersama. Saat itu, secara bergantian anggota keluarga diberi kesempatan untuk memimpin. Niscaya, cita-cita memiliki umat yang imannya mendalam dan tangguh, dapat terwujud.
Kita tidak ingin keluarga-keluarga kita kehilangan orientasi hidup karena tidak mempunyai habitus beriman yang kuat. Doa dalam keluarga harus kita canangkan menjadi gerakan yang terus-menerus kita dengungkan. Kita ingatkan agar menjadi tradisi. Kenapa dalam keluarga? Karena keluarga adalah “sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat” (Familiaris Consortio42) dan “sekolah kemanusiaan”, (Gaudium et Spes 52) tempat
pertama seseorang belajar hidup bersama orang lain serta menerima nilai-nilai luhur dan warisan iman. “Di situlah seseorang menjadi pribadi matang yang menggemakan kemuliaan Allah. Keluarga katolik menjadi tempat utama, dimana doa diajarkan, perjumpaan dengan Allah yang membawa sukacita dialami, iman ditumbuhkan, dan keutamaan-keutamaan ditanamkan” (SAKGI 2015, 2).
“Keluargalah yang mempunyai pengaruh paling kuat pada tingkah laku dan memberikan model-model (contoh) yang paling baik” (Madena;1991:50).
Bercermin dari hidup Keluarga Kudus Nazaret, keluarga Katolik dihayati sebagai ladang sukacita Injil yang paling subur, tempat Allah menabur, menyemai, dan mengembangkan benih-benih sukacita Injil. Di dalam keluarga, suami-istri dan anak-anak saling mengasihi, membutuhkan, dan melengkapi (SAKGI 2015, 6). Keluarga Katolik adalah basis hidup beriman. Sukacita menjadi buah kasih yang bertumbuh dari iman yang mendalam. Semoga para orang tua berusaha dengan sungguh untuk membangun kebiasaan doa bersama, demi semakin kuatnya kehidupan iman di dalam keluarga.