Perumpamaan Orang Samaria
Syalom aleikhem.
Perumpamaan yang terdapat di Luk. 10:25-37 diawali karena ada dialog antara Tuhan Yesus dan seorang ahli Taurat yang mencobai Dia sebagai pengajar (ay. 25-29). Jika gagal menjawab, Tuhan Yesus akan dianggap guru palsu. Pertanyaan itu berbunyi: “Apa yang harus diperbuat untuk mendapat hidup kekal?”
Tanggapan-Nya mengejutkan. Ia balik bertanya tentang perintah Taurat. Si ahli Taurat menjawab tepat. Justru karena itu niatnya untuk mencobai ketahuan. Si ahli kemudian berusaha membenarkan diri, artinya menutupi rasa malu. Lalu, ia bertanya tentang makna kata “sesama” (ay. 29). Ia yakin kali ini Tuhan Yesus akan kesulitan menjawab. SESAMA & BUKAN SESAMA
Makna “sesama” cukup rumit bagi orang Yahudi zaman itu. Bagi kita kini jelas, sesama manusia ya manusia. Titik! Tapi, bagi orang Yahudi masa itu, ada manusia yang sesama, ada yang bukan sesama, bergantung pada status, kondisi, dan relasi dengan mereka. Yang dianggap sesama adalah orang sebangsa atau sesuku. Orang Yahudi umumnya menganggap orang Samaria dan bangsa asing bukan sesama. Golongan lain yang dianggap bukan sesama adalah pemungut cukai, pendosa, orang kusta.
Seorang musuh meski ia sebangsa juga bukan sesama. Cara pandang yang rumit ini menjadi latar belakang persoalan mengenai makna “sesama”. Lain halnya bagi Tuhan Yesus. Makna sesama bagi Dia ialah semua manusia. Pandangan ini sama dengan pandangan kita sekarang. Namun, jika pandangan itu diajarkan zaman itu, bisa repot! Orang bisa bertanya, misalnya, “Orang Romawi yang penjajah itu sesama bukan?” Yang menjawab “ya” dianggap antek penjajah. Yang menjawab “bukan” bisa dilaporkan sebagai anti-Romawi. Ketegangan dan kesulitan muncul. Ahli Taurat dan para pendengar ingin mendengar apa jawaban-Nya.
PERUMPAMAAN
Untuk menjawab, Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan. Ada orang dirampok pada jalan dari Yerusalem ke Yerikho. Jalan itu menurun sekitar 1.000 meter, panjangnya sekitar 27 km, berbukit-bukit karang, sepi, melintasi gurun. Jalan berbahaya. Orang yang dirampok dihajar dan ditinggalkan setengah mati. Jika tidak ada penolong, pasti tamat riwayatnya. Siapa yang akan menolongnya?
Seorang imam dan seorang Lewi. Si imam lewat dan tidak menolong (ay. 31). Si Lewi berbuat sama (ay. 32). Mereka itu petugas peribadatan di Bait Allah di Yerusalem. Tapi mengapa mereka tak mau menolong? Umumnya ditafsirkan bahwa mereka takut najis. Mereka mengira, orang yang dirampok sudah mati. Menyentuh (tersentuh) orang mati berarti najis tujuh hari (Bil. 19:16). Kalau najis, mereka tak dapat melayani ibadat. Mereka menghindar supaya jangan najis. Sebenarnya itu ironi karena tokoh agama yang harusnya mencontohkan kebaikan malah kehilangan kepekaan pada orang yang menderita. Apa artinya najis dibandingkan perbuatan belas kasih?
Seorang Samaria. Orang Samaria dianggap kafir oleh orang Yahudi karena mereka keturunan bangsa campuran Israel dan Asyur. Orang Samaria dianggap bukan sesama oleh orang Yahudi. Justru orang yang dianggap rendah itu berhati mulia. Ia tidak terhambat sekat-sekat. Kemanusiaannya tersentuh melihat orang dirampok dan dianiaya. Pertolongan itu dikisahkan rinci (ay. 33-35). Tindakannya tulus dari awal sampai akhir, bukan karena ada kepentingan pribadi, melainkan karena belas kasih. Ia telah merelakan waktu, tenaga, hartanya.
Pada akhir cerita, Tuhan Yesus menunjukkan apa yang penting: “bagaimana aku menjadi sesama” bukan “bertanya siapa sesamaku”. … BERSAMBUNG…