Minggu Palma, Mengenangkan Sengsara Tuhan
9 April 2017
BcE.Yes. 50 : 4 – 7, Flp. 2 : 6 – 11, Mat. 26 : 14 – 27; 66 atau 27 : 11 – 54
Tidak seorang pun di dunia ini menghendaki penderitaan terjadi dalam hidupnya. Mengapa? Sebab penderitaan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan adalah pengalaman negatif, menyakitkan, bahkan dapat meninggalkan luka trauma yang dapat berdampak pada perkembangan kepribadian bagi yang mengalaminya. Maka sebelum penderitaan itu menghampiri, manusia telah mempersiapkan cara untuk mencegahnya.
Jika kita merenungkan bacaan-bacaan suci pada Minggu Palma ini, maka penderitaan itu tidak selamanya bersifat negatif. Dalam bacaan pertama (Yes. 50: 4 – 7), dikisahkan tentang seorang hamba Tuhan yang mengalami penderitaan dalam kapasitasnya sebagai murid. Dan karakteristik dari Sang Murid adalah ketaatan kepada gurunya. Karena itu, Sang Murid tidak pernah menyesali penderitaan yang dialaminya, karena baginya penderitaan itu adalah bagian dari ketaatannya.
Dalam bacaan Injil (Mat. 26: 14 – 27), Yesus rela menanggung penderitaan dengan lapang dada karena ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa dan kecintaan-Nya pada umat manusia. Sebagai manusia “biasa”, Yesus sebenarnya tidak menghendaki penderitaan itu. Akan tetapi dalam keadaan yang sangat menakutkan itu, Ia tetap berdoa: “Tetapi janganlah terjadi menurut kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.
Dari kedua bacaan di atas, kita akhirnya dapat membuat kesimpulan bahwa penderitaan manusia tidak selamanya bermakna negatif. Penderitaan itu memang tidak menyenangkan, tetapi bagaimana sikap kita dalam memaknai penderitaan dalam hidup, itulah yang terpenting. Semoga penderitaan apa pun yang kita alami, dapat kita pandang sebagai cara Tuhan membentuk diri kita, agar semakin beriman kepada-Nya dan semakin menyerahkan hidup kepada penyelenggaraan-Nya.