Pekan Suci dimulai. Misa pertama pada hari sabtu sore (8 April), dibawakan oleh R.P Managam Tua Simbolon, SJ. Suasana sore itu cukup cerahm sehingga banyak umat yang datang. Dalam homilinya yang memancing gelak tawa umat, Romo Agam berkata bahwa bicara tentang misteri sengsara Yesus tidaklah menarik, karena manusia suka akan hal yang spektakuler. Manusia seringkali mempunyai kesombongan rohani, merasa lebih dari yang lainnya. Beliau mengajak untuk menanggalkan pikiran dan persepsi kita tentang Yesus. Semoga kita diberi kerendahan hati dan belajar bertanya, “Tuhan apa yang hendak Kau katakan dalam pekan suci ini?”
Sabtu sore itu juga, pertama kalinya dipersembahkan Misa Minggu Palma di Stasi Ciwidey, bersama Rm. Gandhi. Sekitar 40 orang warga stasi, bersama sekitar 15 orang warga St. Martinus lainnya, nampak hadir, sehingga Misa terasa berbeda dari biasanya. Walaupun begitu, seluruh umat hening dan khusuk.
Minggu pukul 07.00, Misa dirayakan bersama Romo Sahid. Meski cuaca pagi sedikit mendung, namun begitu banyak umat yang hadir dan memenuhi gereja, Bina Iman, Bina Kasih, hingga selasar di jalan masuk gereja.
Sementara misa pukul 10.00 merupakan misa yang paling lengkap, karena adanya perarakan. Kali ini misa dipimpin oleh Romo Gadhi. Siang itu udara cukup panas namun tidak menyurutkan umat untuk merayakan ekaristi. Mereka berarak tertib dari lapangan parkir belakarng, menyusur jalan utama hingga masuk ke gereja lewat pintu utama. Gereja dan ruangan-ruangan lainnya, dipenuhi oleh umat.
Minggu sore pukul 17.00, kembali Rm. Sahid yang memimpin misa. Listrik mati, persis saat Passio sampai pada saat Yesus mati, menjadi inspirasi homili Rm. Sahid, “Orang ditinggalkan Tuhan pasti mati, tidak bisa ditolong”. Untunglah itu tidak berlangsung lama. Genset yang sudah dipersiapkan segera menyala, persis saat hening usai. “Berkat Tuhan Yesus yang kita percayai, umat Martinus akan bangkit dalam segala hal”.
Romo Sahid juga mengingatkan bahwa Yesus menanggung sengsara-Nya dengan gagah, tak sedikit pun gentar. Hidupnya diwarnai dengan angka 3. Umurnya 33 tahun, seorang nabi paling muda. 30 tahun masa persiapan, 3 tahun tampil di depan umum. Tuhan Yesus “dimusnahkan” pada pukul 3 siang. Ia turun ketempat penantian selama 3 hari. Hari ke-3 Ia bangkit. Setelah semua dijalankan, Ia menang dan menyampaikan “Aku mencitnai kamu”. Cinta-Nya takkan pernah hilang dari dunia ini. Kamu selamat, sekarang dan nanti.
Dalam permenungannya di Ciwidey dan di gereja, Rm. Gandhi mengajak umat untuk mencecap rasa tentang cinta sejati yang loyal kepada Allah. Dari kisah yang dibacakan pada minggu palma ini disimpulkan bahwa cinta yang loyal kepada Allah adalah pertama-tama melakukan apa yang menjadi kehendak Allah (pemiliki keledai memberikan keledainya, karena Yesus memintanya). Cinta sejati itu lahir dari dalam diri sendiri yang sadar melakukan hal yang baik, bukan karena disuruh oleh orang lain (orang bersorak-sorai dan mengelu-elukan Yesus, menebarkan daun dan ranting serta kain di tengah jalan tanpa ada yang meminta). Cinta sejati itu juga yang mau menderita dan siap menganggung resiko untuk memanggul Salib (Yesus yang menderita dan mati di salib).
Panggilan kita sebagai manusia adalah untuk melaksanakan kehendak Alah demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Hidup beriman adalah hidup yang berbuat dan bekerja dengan spirit hamba yang tak berguna. Ia tidak akan banyak bertanya, bicara ataupun bersungut-sungut. Ia kreatif, spontan, dan selalu berusaha, dan siap dengan segala resiko, penderitaan, dan salib.
Sebuah refleksi disampaikan “Apakah aku sungguh menunjukan cintaku kepada Allah dengan setia, pada Allah yang mati-matian mencintaiku?”