Dalam iman kristiani, hidup ini dipandang dalam terang kasih Allah. Iman kita bukan sebuah agama yang berdasarkan aturan dan hukum, tetapi dicirikan pada perjumpaan dengan Kristus, relasi pribadi dengan Kristus dalam kesatuan iman seluruh Gereja Lewat Ekaristi, yang merupakan penghadiran kurban salib Kristus sebagai wujud kasih Allah yang paling radikal, kasih Allah dapat kita alami, lihat, terima, cecap dan seutuhnya hadir bagi kita! Christus totus in capite et in corpora. Artinya, dengan menyambut tubuh (Yun. Soma), dan atau darah (Yun. Haima) Kristus, kita menjadi Kristus (Dia yang kita sambut). Itulah sebabnya imam yang memimpin Misa harus menyambut komuni yang pertama.
Lewat Ekaristi, Kristus tinggal di tengah kita. Menurut para martir di Tunisia, mereka tidak dapat hidup tanpa Ekaristi (Sine Dominico non possumus). Ekaristi itu jantung hidup kita! Sifatnya mutlak bagi hidup
iman kita! Supaya kita secara layak dan sungguh-sungguh dapat memberi waktu untuk Tuhan Yesus yang hadir dalam Ekaristi, maka kita memerlukan Adorasi Ekaristi. Lewat Adorasi, kita memperpanjang dan memperdalam Ekaristi…
Pertumbuhan rohani memerlukan konsistensi dalam memberi waktu untuk Tuhan, demikian Paus Benediktus XVI. Begitu pula Paus Fransiskus, selalu menyediakan waktu untuk beradorasi Ekaristi, setiap hari. Dengan semakin mengenal Yesus lewat perjumpaan langsung (secara fisik), diharapkan kita semakin dekat dan mirip dengan Yesus; ketularan suci, damai, dan rendah hati; mengurangi dosa, bahkan dosa kita diampuni; dan melakukan silih bagi dosa sendiri dan dosa sesama.
Apa yang didoakan selama Adorasi Ekaristi adalah hal yang sekunder. Yang terpenting, kita hadir di hadirat Tuhan Yesus, dalam Sakramen Mahakudus. Kita dapat berdoa Rosario, doa devosi lain, atau merenungkan sabda Tuhan dalam meditasi. Yang perlu diingat: lakukan sembah sujud pada awal dan akhir. Pada awalnya, mungkin kita suka berdoa dengan banyak kata, seiring dengan makin dekat dan eratnya persahabatan dengan Tuhan Yesus, orang semakin tidak terlalu ambil pusing dengan kata-kata, melainkan menikmati kasih dan kehadiran Tuhan. Sesi tanya jawab menjadi sesi akhir seminar liturgi hari kedua. Pertanyaan-pertanyaan ini dituliskan umat pada secarik kertas, kemudian diseleksi oleh R.D. Gandhi sebagai moderator.
Ada beberapa pertanyaan yang menarik. Di antaranya, bagaimana bila kita tertidur saat ber-adorasi? Romo Marto menjawab dengan gaya jenaka, bahwa rasa kantuk adalah manusiawi. Bila rasa kantuk tak lagi tertahan dan kita jatuh terlelap di depan Sakramen Maha Kudus saat ber-adorasi ya mau bagaimana lagi? Adorasi Ekaristi pada dasarnya adalah momen perjumpaan yang personal dan intim dengan fisik Tuhan kita, dalam rupa Hosti Kudus. Sudah selayaknya kita memandang Yesus dalam Sakramen Maha Kudus. Apabila kita jatuh terlelap, Tuhanlah yang akan memandang kita… Satu catatan penting, Romo Marto menegaskan bahwa meski dalam Adorasi, tertidur itu dimaklumi, namun dalam Misa/Ekaristi, umat tidak boleh tidur.
Pertanyaan lain yang terlontar adalah bagaimanakah seharusnya sikap umat, ketika imam sedang melakukan elevasi (mengangkat) Tubuh dan darah Kristus pada Doa Syukur Agung? Menurut Romo Marto, sikap tubuh ini dipengaruhi oleh budaya negara di mana umat beriman tinggal. Pada dasarnya, Katolik Roma (Ritus Barat) menegaskan, sikap hormat yang benar adalah menatap Tubuh dan Darah Kristus ketika diangkat oleh imam. Di Indonesia, budaya Jawa sangat berpengaruh. Sikap hormat dimaknai dengan menunduk, menangkupkan tangan di dahi dan tak berani menatap langsung ke arah Sakramen Maha Kudus.
Inilah perbedaan gesture akibat budaya. Beliau memaklumi bila ada di antara umat yang terbiasa dengan ‘gestur Jawa.’ Setidaknya, umat sudah mengetahui bahwa sikap menatap Tubuh dan Darah Kristuslah yang dipahami oleh Gereja Universal sebagai tanda hormat.