Banyak orang mengejar kesempurnaan. Untuk setiap hal yang dimilikinya, bahkan untuk setiap hal yang hanya dilihatnya. Terkadang hal itu terus menerus menggerus kebiasaan kita yang harusnya selalu bersyukur pada keadaan kita saat ini. Apa adanya kita saat ini, itu semua yang terbaik, ya, pemberian Allah. Hidup kita, mati kita, semuanya juga ada dalam rancangan-Nya. Maka, apa pun yang sekarang kita alami, pasti memiliki pesan untuk hidup yang akan terus kita jalani selama di dunia ini.
Kehidupan sosial di perkotaan dan pedesaan seringkali ditemukan berbeda. Namun, di antara sekian banyak manusia yang sibuk dengan urusannya masing-masing, tentu ada kaum minoritas. Masih saja kita mudah menemukan saudara kita yang miskin dan berkekurangan. Lontang-lantung di jalanan, mencari sumber kehidupan. Lalu mereka yang tersingkir dari kalangan yang menganggap kehidupan dan derajatnya lebih tinggi. Ada juga kaum yang kemudian menjadi lemah secara otomatis, baik ekonomi, fisik, maupun mentalnya. Dan… Cobalah lihat saudara kita yang difabel. Mereka tidak buruk, mereka istimewa.
Pernahkah terpikirkan bahwa mereka juga ingin mencapai “kesempurnaan”? Memiliki kekayaan, kedudukan, dan pengakuan dari lingkungan sekitar. Namun sayangnya, tidak semua berhasil memaknai hidup mereka dengan sempurna. Masih banyak yang mudah patah hati namun tidak bangkit, merasa lemah namun enggan mencari pertolongan, pasrah dan tidak melakukan apa pun, sehingga kasih pun tidak bisa menyentuh hati mereka. Takdir tidak bisa diubah, namun nasib ditentukan sendiri oleh kita.
Hal apa yang membuat mereka dapat bertahan hidup? Tentunya berkat dukungan dan pertolongan dari lingkungan sekitar. Gereja Katolik selalu mengupayakan diri memberi pertolongan, paling tidak, hadir sebagai motivator dan terus mendoakan, sehingga saudara kita yang memerlukan “teman”, bisa menerima keadaannya dan bukan diam meratapinya, namun bergerak dan berupaya bebas dari keterpurukan. Dengan saling terbuka, maka solusi dapat dicari bersama. Paling tidak, dengan berbagi, beban terasa ringan dipikul.
Mari membuat saudara kita yang dalam keadaan seperti itu tidak merasa sendirian. Dan bagi saudara kita yang memiliki keadaan istimewa, mari kita samasama hadir sebagai “kawan” yang senantiasa mendampingi dan membantu apa saja yang kita bisa lakukan. Dengan begitu, tidak ada lagi rasa malu dan takut dalam hati mereka.
Hidup mereka akan lebih bermakna, dihargai, dan diperjuangkan. Dengan penuh semangat, kita dapat bergerak dan melakukan hal-hal baik, terus berjuang mempertahankan hidup, dan bisa memanggul salib sertamenjalani hidup penuh rasa syukur.