Salah satu persoalan yang senantiasa menghimpit hidup manusia adalah “kemiskinan”. Fenomena ini ada di mana-mana, dari dulu sampai sekarang, terus dialami dan dihadapi manusia. Dengan kata lain, persoalan ini merupakan persoalan klasik. Berbicara tentang kemiskinan, mengingatkan kita akan beberapa hal. Misalnya: mengapa kemiskinan sering terjadi dan menjadi sebuah persoalan yang serius dalam hidup manusia? Mengapa orang berupaya mengentaskannya atau berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkannya? Harus mulai dari mana? Gereja, sebagai salah satu lembaga keagamaan juga menyadari hal ini. Sebagai bagian dari komunitas dunia, Gereja tidak pernah tinggal diam ketika melihat realitas kemiskinan.
Salah satu dokumen Gereja yang menyebut kelompok kaum miskin adalah Centesimus Annus no. 11. Menurut dokumen ini, ada berbagai macam kelompok orang miskin, di antaranya: para lansia, pengungsi, kaum emigran. Termasuk di dalamnya adalah para korban perang dan bencana yang melanda dunia. Ensiklik Rerum Novarum no. 23 juga menaruh perhatian yang besar terhadap kaum miskin. Ensiklik ini mengatakan bahwa bagi Allah kemiskinan itu bukan sesuatu yang tidak pantas, dan kewajiban bekerja demi mencari nafkah bukan alasan untuk merasa malu. Melalui ensiklik ini, Paus Leo XIII menunjukkan sikap dasar Yesus yang rela menjadi miskin seperti yang dikatakan oleh St. Paulus: Dia yang kayaraya menjadi miskin demi kita (2Kor. 8:9). Yesus sendiri tampil dan dianggap sebagai anak tukang kayu, kendati Ia Putra Allah dan Allah sejati. Dengan penampilan-Nya itu, Ia tidak berkeberatan melewatkan sebagian besar hidup-Nya sebagai tukang kayu (Mrk. 6:3).
Paus Leo XIII melihat teladan hidup Yesus ini mempermudah pemahaman, bahwa nilai dan keluhuran manusia terletak pada corak hidupnya. Maksudnya, bahwa keluhuran manusia terletak pada keutamaannya. Paus melihat bahwa tampaknya kehendak Allah sendiri jelas berpihak pada orang-orang yang malang. Hal ini sudah ditegaskan dengan sangat jelas oleh Yesus dalam Khotbah di Bukit, “Berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah” (Mat. 5:3).
Pilihan untuk berpihak pada mereka yang lemah ini ditunjukkan pula lewat sikap Yesus yang mengundang siapa saja yang berjerih payah dan bersedih hati, untuk datang kepada-Nya, sumber penghiburan (Mat. 11:28). Paus Leo melihat bahwa Yesus dengan hati penuh cinta merangkul dan mengangkat hati orang miskin yang penuh derita dan sikap Yesus ini disimaknya sebagai cara hidup yang mampu meredam kesombongan hati kaum kaya.
Berpihak kepada orang miskin berarti berpihak kepada kehidupan dengan asumsi dasar: Allah tidak menghendaki manusia binasa atau yang miskin menderita. Oleh karena kemiskinan pada hakikatnya adalah sebuah peristiwa kematian vitalitas: kematian fisikal, psikologis, dan spiritual, maka berpihak kepada kaum miskin berarti membuat seruan profetis atas nama orang miskin untuk menghantam berbagai situasi yang mematikan orang, termasuk menghantam sistem kehidupan yang tidak adil dalam masyarakat. Ini adalah salah satu tuntutan Kerajaan Allah, kerajaan kehidupan. Meminjam bahasa Gustafo Gutierrez, kita berpihak kepada orang miskin bukan karena kita sudah mengetahui fakta kemiskinan dengan sangat baik atau bahkan orang miskin itu baik, melainkan karena kita percaya kepada Allah yang mencintai kehidupan, Allah yang baik.
Kalau kita menyatakan diri bahwa kita masih mencintai Allah dan beriman kepada- Nya, maka identifikasi identitas kekristenan kita harus jelas terlihat pada upaya untuk berdiri di pihak orang-orang miskin. Sama seperti sikap Yesus yang selalu mendekati dan berpihak kepada orang miskin tanpa prasyarat. Hanya dengan demikian kita pun telah berpartisipasi dalam kemiskinan Allah, Dia yang selalu mau hadir dan mendekatkan diri dengan mereka yang miskin atau kurang diperhatikan.