Homili 2
Kualitas seorang Imam sering dinilai dari isi homili dan cara menyampaikannya. Cara menyampaikan homili oleh seorang Imam tidak terlepas dari kepribadian Imam yang bersangkutan. Contoh: kalau Imam itu seorang humoris, homilinya bisa bikir gerrr umat. Kalau Imam itu seorang yang penuh semangat, homilinya berapi-api. Umat pasti menyukai Imam yang homilinya bisa bikin tertawa, tidak bikin ngantuk, dan yang inspiratif.
Imam yang terlalu melucu mungkin mengakibatkan umat menjadi kurang fokus terhadap isi homili yang hendak disampaikannya. Akibatnya umat tidak mendapatkan esensi homili Imam tersebut. Jadi kembali ke tujuan semula, homili yang baik adalah homili yang dapat mengangkat semangat hidup umat sebagai seorang kristiani dan umat tersentuh untuk lebih menjalin relasi yang lebih mendalam dengan Allah, bagaimanapun cara homili itu disampaikan.
Sebagai umat seharusnya kita dapat menghargai homili seorang Imam dengan segala ciri khasnya. Siapapun Imamnya, pastilah telah mempersiapkan materi homilinya dengan sebaik-baiknya, dengan tuntunan Roh Kudus. Tidak mudah lho tugas seorang Imam untuk membawakan homili. Dia harus dapat menarik benang merah dari ketiga bacaan yang dibacakan (Bacaan Pertama sampai Bacaan Injil) dan harus menyampaikannya kepada umat dari segala usia, kalangan, dan latar belakang yang berbeda.
Lalu siapa saja yang boleh memberikan homili saat Perayaan Ekaristi? Dalam Pedoman Umum Misale Romawi 66 disebutkan:’… yang memberikan homili ialah Imam pemimpin perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah satu Imam konselebran, atau kadangkadang, tergantung situasi, kepada Diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….” Jadi jelas hanya Imam dan Diakon. Mungkin seorang awam mampu untuk membawakan homili, namun di dalam Misa, kewenangan itu diturunkan dari Uskup yang menahbiskan Imam dan Diakon sebagai pembantu-pembantunya (klerus). Frater seminaris atau biarawan-biarawati termasuk dalam kelompok awam yang tidak mendapatkan kewenangan menyampaikan homili dalam Misa. Pernah terjadi saat Misa, seorang Frater seminaris melakukan praktek homili menggantikan Imam. Sebenarnya hal tersebut tidak diperkenankan. Kalaupun seorang Frater seminaris berbicara di depan umat saat Misa, itu namanya kesaksian – bukan homili. Dan sebaiknya kesaksian semacam itu, ditempatkan pada bagian akhir Misa sebelum Berkat dan Pengutusan.
Homili bukan doa, maka tak perlu membuat tanda Salib untuk mengawali atau mengakhirinya. Sebab masih saja ada umat yang membuat tanda Salib, terutama saat Imam mengakhiri homilinya. Kalaupun ada Imam yang mengajak berdoa singkat sebagai akhir homili, itu dipandang sebagai tanda kesalehan.