Hidup manusia penuh godaan dan pencobaan. Pencobaan itulah yang membantu perkembangan dan proses pematangan hidup manusia, terutama secara rohani. Tanpa pencobaan manusia akan menjadi lembek. Ibarat pohon yang diterpa angin, walaupun ada risiko tumbang dan patah, namun mungkin juga pohon itu akan menjadi kuat: batangnya yang tampak di permukaan bumi, pun akar yang menancap ke dalam bumi. Begitu juga dengan hidup manusia.
Mazmur 141 yang berjudul, “Doa dalam pencobaan” ini melukiskan hidup yang penuh cobaan dan godaan. Salah satu jalan kejahatankeluar yang diajukan pemazmur ialah agar tidak lupa berdoa kepada Tuhan. Berdoalah kepada Tuhan di kala mengalami cobaan.
Berdasarkan dinamika teks, mazmur yang cukup pendek ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian I: ayat 1-4. Bagian II: ayat 5-7. Bagian III: ayat 8-10. Dalam kesesakan dan pencobaan, pemazmur meminta agar Tuhan datang kepadanya saat ia meminta tolong dan mendengarkan permohonannya. Dalam imajinasi religiusnya ia membayangkan bahwa doanya itu menjadi laksana asap yang
membubung ke atas (ay. 1). Ia membayangkan bahwa kedua tangannya yang terangkat ke atas saat berdoa menjadi persembahan korban pada waktu senja (ay. 2). Selanjutnya, ia meminta agar Tuhan sudi menjadi penjaga mulutnya, jangan sampai mulut mengucapkan kata-kata kotor dan tidak patut (ay. 3); menjaga hatinya supaya tetap lurus pada jalan benar, tidak berbelok kepada kejahatan dan kefasikan. Ia yakin bahwa perbuatan fasik itu bermula dari kecondongan hati kepada yang jahat dalam sebuah solidaritas negatif dengan orang jahat (ay. 4).
Dalam bagian II pemazmur berbicara tentang pendidikan yang diberikan orang benar. Pendidikan semacam ini, biarpun keras (misalnya dengan cara memalu dan menghukum), dianggapnya sebagai didikan kasih. Didikan keras orang benar itu ia kontraskan dengan minyak orang fasik. Ia tidak sudi dihiasi kepalanya dengan minyak (wangi) orang fasik. Dalam pelbagai doanya pemazmur terus melawan kejahatankeluar kejahatan orang fasik (ay. 5). Perbuatan dan tingkah laku orang fasik, suatu saat kelak pasti mendapat hukuman setimpal di hadapan hukum yang ditegakkan hakim. Jika saat itu tiba, pemazmur yakin bahwa orang fasik baru sadar betapa kata katanya selama ini benar dan menyenangkan (walau tidak mereka ikuti) (ay. 6).
Secara imaj inat i f , pemazmur membayangkan kesudahan orang fasik kelak dalam dunia orang mati. Mereka akan mendapat hukuman yang berat dan setimpal dengan perbuatan dan tingkah laku mereka selama hidup di dunia ini. Tulang-belulang mereka akan hancur lebur seperti batu yang dibelah dan dihancurkan di tanah (ay. 7).
Berbeda dengan nasib tragis seperti itu, pemazmur membayangkan nasibnya kelak. Ia membayangkan keselamatan, sebuah situasi luput dari orang jahat dan fasik. Itu terjadi karena pemazmur selalu memandang kepada Allah dan berharap kepada pertolongan Allah. Ia berharap Tuhan tidak mencampakkan dirinya (ay. 8), melindungi dia dari jerat perangkap yang dipasang orang fasik.
Memang tidak mudah hidup di tengah dunia yang penuh orang fasik. Ada bermacam jebakan. Maka pemazmur meminta kepada Tuhan agar ia diselamatkan, diluputkan dari pelbagai jerat itu (terutama yang tidak tampak). Ia berharap jangan sampai tersandung dalam perbuatan jahat orang jahat. Ia sadar betapa mudahnya orang ikut arus dalam perbuatan jahat karena emosi dan euforia massa. Hal itu sangat berbahaya.
Ia meminta agar ia luput dari hal seperti itu (ay.9). Jika perlindungan dan pemeliharaan Tuhan terjadi atas dirinya, maka ia luput. Sedangkan orang fasik dan jahat akan terperangkap ke dalam jerat perangkap yang mereka pasang bagi orang lain. Seperti kata pepatah ini: siapa menggali lobang, ia sendiri akan terperosok ke dalamnya. Kata orang Jerman: Wer hat eine Grube grabt, felt selbst hinein. Abepura, Medio Juli 2017 Penulis: Dosen biblika FF-UNPAR Bandung; dosen tamu STFT Fajar Timur, Abepura,