BcE. Mal. 1: 14b – 2 : 2b. 8 – 10; 1Tes. 2: 7b – 9. 13; Mat. 23: 1 – 12
Tema umum permenungan kita minggu ini adalah perihal kejujuran. Kejujuran didefenisikan sebagai keselarasan antara isi hati dengan apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat. Dalam perjalanan hidup manusia, kejujuran masih menjadi barang mahal. Itu tampak dalam kedua bacaan Kitab Suci Minggu ini.
Dalam bacaan pertama (Mal. 1: 14b – 2 : 2b . 8 – 10), nabi Maleakhi mengeritik kebiasaan tak jujur yang dilakukan oleh para Imam pada zamannya. Mereka selalu mempersembahkan korban tercemar kepada Allah, kendati mereka sebenarnya memiliki binatang korban yang lebih layak dan pantas untuk dipersembahkan.
Dalam bacaan Injil (Mat. 23: 1 – 12), Yesus mengeritik ketidakjujuran yang dilakukan oleh para ahli kitab dan orang Farisi. Yesus mengeritik kemunafikannya. Mereka menjalani hidup religius, sebagai sebuah life style. Mereka suka duduk di kursi Musa – sebagai simbol kursi kehormatan dalam Bait Allah di mana seorang guru menyampaikan ajarannya –, memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai jubah yang panjang, suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan, suka menerima penghormatan di pasar, suka dipanggil Rabi, bahkan juga sering membanggakan dirinya sebagai kelompok orang yang paling mentaati hukum Taurat. Padahal apa yang mereka ajarkan bertolak belakang dengan apa yang mereka lakukan.
Mereka menerapkan aturan-aturan imamat kepada orang awam, sedangkan mereka sendiri tidak mau menjalankan aturan-aturan itu. Karenanya Yesus menegaskan kepada para pendengar-Nya agar para pendengar-Nya tidak mengikuti perbuatan para ahli kitab dan orang Farisi itu. Siapapun boleh mendengarkan ajaran-ajaran mereka, tetapi tidak boleh mengikuti tingkah laku dan perbuatan mereka. Mengapa? Sebab di dalam diri mereka tidak ada keselarasan antara isi hati dengan apa yang mereka ucapkan dan mereka perbuat. Selamat merenungkan.