Memasuki era informasi teknologi seperti sekarang ini, Gereja dihadapkan dengan satu tantangan baru tapi lama dari era industry, yaitu dunia perburuhan. Panggilan Gereja untuk “mendahulukan orang orang miskin“, semakin mendapat tantangan.
Di setiap tempat di dunia ini terdapat banyak sekali kaum buruh yang merupakan bagian dari kaum miskin dan yang terpinggirkan, maka peran aktif Gereja senantiasa dituntut untuk terlibat di dalamnya.
Buruh adalah orang yang menjual tenaganya demi kelangsungan hidupnya. Ia tidak memiliki sarana atau faktor produksi selain tenaganya sendiri. Ia bekerja untuk menerima upah. Buruh adalah sumber daya manusia yang diperlukan dalam produksi selain pengusaha dan pemilik modal. Mereka bekerja sesuai dengan kemampuannya, bahkan mengabdi sebuah industri dengan tujuan mendapatkan upah yang pantas.
Masalah-masalah sosial timbul karena kaum buruh sering diartikan sebagai faktor produksi semata mata. Maka diperlukan perlindungan hukum tentang upah, jaminan kerja, serta jaminan lainnya agar martabat buruh sebagai manusia tetap diperhatikan. Untuk melindungi martabatnya, di Indonesia istilah buruh diganti dengan istilah pekerja. Tujuannya ialah mengembalikan citra buruh yang sering kali tidak diperhatikan secara manusiawi dalam kaitannya dengan produksi.
Fenomena hidup kaum pekerja sejak dulu mendapat perhatian yang serius dari pihak Gereja. Dalam memperjuangkan prinsip keadilan terhadap pekerja, patut diteropong pandangan dan sikap simpati Paus Leo XIII, yang mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum; yang memaparkan masalah-masalah yang hidup di tengah kaum pekerja. Ensiklik ini pertama-tama ditujukan kepada para pemimpin Gereja, bukan kepada kaum pekerja. Gereja tidak boleh berpangku tangan melihat kenyataan yang hidup dan mewarnai kehidupan manusia.
Uraian Ensiklik RN ini mengetengahkan dua golongan yang berbeda yakni pekerja dan usahawan. Masalah pekerja bukan sekadar masalah harta dan pembagian kekayaan; kemelaratan kaum pekerja adalah masalah kebebasan kaum pekerja dan penghargaan terhadap pribadi manusia. Sikap Gereja/optio terhadap kaum pekerja menjadikan kaum pekerja sebagai pribadi manusia yang punya martabat. Nilai kemanusiaan kaum pekerja untuk mendapat kelayakan dari hasil kerja mereka harus sesuai dengan standart yang mensejahterakan hidup mereka. Solidaritas Gereja terhadap kaum pekerja hendaknya dikonkritkan lewat keprihatinan-keprihatinan, pendampingan-pendampingan, dan perbuatan-perbuatan yang dapat meningkatkan harkat dan martabat mereka.
Apa yang dapat kita perbuat berhadapan dengan masalah ini?
- Perspektif ke dalam; Kita (Gereja) pertama-tama harus mulai dengan diri kita sendiri dalam lingkungan dan tanggung jawab masing masing. Kita menjadi orang yang munafik jika kita tahu banyak tentang perburuhan tetapi kita memperlakukan karyawan-pekerja sendiri, secara tidak adil. Hal ini kena pada orang-orang Katolik (yang memiliki perusahaan dan memegang tanggung jawab di dalamnya) dan lembaga-lembaga Katolik keuskupan, paroki, rumah sakit Katolik, sekolah-sekolah Katolik dan biara-biara. Apakah upah, syarat kerja, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua sudah diperhatikan dengan wajar-layak?
- Perspektif keluar; Jika kita telah berlaku adil-wajar terhadap pekerja yang ada di sekitar lingkungan kita, barulah kita dapat ikut berpartisipasi dalam mengatasi masalah perburuhan secara luas;
Bagi para pekerja patut diteladani figur St Yosef: seorang yang sederhana, pendiam, rendah hati, yang melayani Tuhan dan keluarga-Nya, melalui pekerjaannya. Pada tahun 1955, Paus Pius XII menetapkan Perayaan St. Yosef Pekerja pada tanggal 1 Mei guna menghadirkan St. Yosef sebagai teladan bagi segenap pekerja dan guna memberikan penekanan pada martabat sejati sumber daya manusia. Semoga para pekerja mendapat perlindungan atas hak dan keselamatan hidup mereka dengan meneladani St. Yosef sebagai pelindung. (Paulus W. Prananta/St. Laurensia)