Pada tanggal 14 Januari 2006 berlakulah Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Berdasarkan Undang-Undang ini, apabila tidak ada kata kesepakatan dalam hal pemutusan hubungan kerja antara pekerja/karyawan dengan majikan/pengusaha atau disebut Bipartit, dan atau Tripartit (Kesepakatan antara pekerja/karyawan, majikan/Pengusaha dan pihak pemerintah), maka pada umumnya pihak pekerja/karyawan yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan dalam menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum perselisihan itu berada.
Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indistrial (PPHI), timbul beberapa pertanyaan sampai sejauh mana undang-undang tersebut dapat melindungi hak-hak para pekerja, dan apa jaminannya, serta mengapa pengusaha memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan pekerjanya? Menurut penulis, undang-undang tersebut tidak dapat melindungi dan menjamin hak-hak pekerja, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu masalah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang pengganti hak, dan lain-lain, walaupun hak-hak karyawan/pekerja tersebut telah diputus berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, apa jaminannya untuk membayar hak-hak para pekerja berdasarkan putusan tersebut, karena semua aset pengusaha pada umumnya sudah dijaminkan atau dipasang hak tanggungan pada bank; kemudian pada umumnya pengusaha sampai digugat oleh para pekerja dikarenakan pengusaha tersebut sudah tidak mampu membayar hak-hak para pekerja sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, penulis menyarankan agar masalah hak-hak para pekerja ini dibuat aturan baru, yang mana isi aturannya tersebut agar dapat menjamin hak-hak para pekerja, misalnya pengusaha diwajibkan membayar dan/atau mengasuransi hak-hak para pekerja dan menyetor ke dalam kas Negara, jadi apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), para pekerja tinggal mengambilnya di kas Negara, sehingga tidak terjadi saling gugat menggugat di pengadilan yang hanya menang di atas kertas saja, dengan demikian beban Negara lebih ringan, karena bukan tidak mungkin Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menjadi dibubarkan, dan masalah ini juga dapat mengatasi terhadap para pengusaha yang nakal, misalnya pengusaha itu pabriknya sewa, mesin-mesin leasing, kemudian pengusaha itu pailit atau kabur, siapa yang bertanggungjawab terhadap hak-hak para pekerja itu.
Demikian konsultasi hukum dan/ atau tulisan ini yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. (Hendri/Sie Keadilan dan Perdamaian).