Sejarah panjang perkembangan manusia seringkali dipenuhi oleh berbagai pertentangan antara dua hal yang mewakili sifat-sifat yang saling berlawanan di satu sisi dan saling melengkapi di sisi lainnya. Bagaikan dua buah kutub medan magnet yang menimbulkan daya tolak satu sama lain ataupun sebagai dua buah muatan listrik yang saling tarik menarik yang kemudian menghasilkan energi yang dapat memberikan penerangan ataupun kerusakan yang tak terkira.
Dalam perjalanan hidup kita, masa pencarian akan makna kehidupan, menjadi pekerjaan yang mendatangkan keresahan dan kecemasan tak terkira. Bahkan, mereka yang senang dengan pergumulan dan pergolakan pemikiran, seringkali menghadirkan berbagai bentuk pemaknaan terhadap proses kehidupan yang dijalani, yang bertitik tolak dari kecemasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sejarah kehidupan Santo Martinus; bagaimana dirinya mengalami pergumulan baik, yang sungguh mengubah hidupnya.
Secara naluriah, kita akan selalu berusaha meraih kebahagian dalam kehidupan, karena itulah yang menjadi sumber “kenikmatan”. Karenanya, tidaklah mengherankan, jika potret sejarah peradaban manusia disesaki dengan berbagai bentuk upaya-upaya pencapaian kebahagiaan, yang identik dengan tujuan hidup itu sendiri. Dalam artian, apa yang dicari oleh manusia adalah kebahagiaan itu sendiri. Kita bisa saja dengan mudahnya bersepakat bahwa “kebahagiaan” merupakan tujuan hidup yang hakiki dari setiap anak manusia. Namun ketika disodorkan berbagai pertanyaan mendasar dan filosofis mengenai hakekat kebahagiaan, maka jawabannya akan sangat beragam, sesuai dengan alur pemikiran yang dibangun seseorang berdasarkan pengalaman hidup empiriknya atau refleksi-refleksi yang dilakukannya dalam mencari dan meraih kebahagiaan tersebut.
Sudah barang tentu, setiap manusia yang dikaruniai kemampuan inderawi dan kemampuan reflektif mempunyai konsepsi masing masing tentang hakekat kebahagiaan. Tidaklah mungkin seseorang mencari sesuatu yang sosoknya tidak pernah terlintas dalam benaknya, sesamar apa pun konsep kebahagiaan itu. Usaha untuk mencari hakekat kebahagiaan biasanya diidentikkan dengan upaya mencari makna dari kehidupan itu sendiri. Dari sinilah pertanyaan-pertanyaan mendasar kemudian bergulir, seperti pertanyaan tentang apa makna kehidupan. Namun demikian, dalam penelusuran pencarian makna tersebut, sebelumnya kita harus menghadirkan jawaban-jawaban yang akurat dan dapat diyakini dari pertanyaan tentang apakah ada sesuatu yang disebut makna kehidupan itu?
Jika ada, apakah manusia mungkin untuk mendapatkannya dan bagaimanakah cara mendapatkannya. Mendapatkan jawaban yang akurat dan dapat diyakini dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tentulah memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dengan melibatkan totalitas diri. Kita memerlukan sebuah refleksi mendalam dan upaya internalisasi secara total, dengan mengkaitkannya secara langsung dengan pengalamanpengalaman kita. Pada dasarnya, setiap diri kita merupakan subjek yang tidak terpisahkan dari realitas di sekeliling kita. Kita bukanlah pengamat atas berbagai realitas, karena kita merupakan bagian dari realitas itu sendiri. Kegagalan dalam menemukan makna kehidupan yang paling hakiki akan menjerumuskan jiwa kita pada keterasingan dan keterombang-ambingan yang berujung pada krisis diri dan kehampaan hidup.
Melalui contoh konkret Santo Martinus sebagai pelindung Gereja yang kita cintai; kita diajak untuk mencari tujuan hidup pribadi di hadapan Allah dan pada akhirnya “berani” untuk mempraktekkan dalam hidup sehari-hari (masuk dalam tataran ‘kedalaman’ dan bukan hanya banalitas/kedangkalan belaka).
Baik sebagai seorang imam, bapak ibu keluarga, pekerja, orang muda, serta anak-anak; diajak untuk total dan berani sebagai murid dalam dunia sekarang ini. Semoga pencaharian makna ini menjadikan kita mau “bergerak” ke arah yang lebih baik dari hari ke harinya. Salam cinta –Mogan