Hampir Empat Tahun Mogan Bersama Kita. Belajar Dari Sebuah Situasi
Ilium oportet crescere, me autem minui. “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30)
Ayat di atas saya pilih menjadi motto tahbisan imamat. Pengalaman kasih Allah yang begitu besar memunculkan sebuah prinsip bahwa la yang memanggil harus terus diwartakan dan harus makin besar dibanding sang pewartanya.
Ini merupakan hasil refleksi hidup yang panjang sehingga saya memilih jalan panggilan sebagai seorang imam. Seorang filsuf Yunani, Sokrates, pernah berkata, ”Hidup yang tidak pernah direfleksikan tidak layak untuk dihidupi.”
Penggalan refleksi ini merupakan sebuah upaya kisah klasik anak manusia yang terus menerus berproses dan tidak lepas dari pencarian hati untuk mengenal dan menanggapi kehendak Allah dalam dirinya. Dalam panggilan ini, ada saatnya saya merangkak, berguling ke kanan-kiri, merambat perlahan, berjalan, dan bahkan berlari pelan lalu kencang. Ini semua karena ”Allah mengaruniakan pengertian kepada kita, supaya kita mengenal Yang Benar” (1Yoh. 5:20) dan adanya kepercayaan serta harapan iman bahwa “In nomine Deifeliciter” (dalam nama Tuhan semoga berbuah).
”La Vita e Bella… ” (Hidup itu Indah) Kalimat dalam bahasa Italia ini adalah sebuah judul sinema romantis yang dibintangi Roberto Benigni. Bagi saya, hidup memang terasa indah. Keindahan yang tidak bisa
dikatakan dengan mudah ketika mengalami masa-masa kritis. Itulah keindahan hidup, yaitu ketika dinamika ‘naik-turun’ begitu nyata. Keindahan itu butuh proses, bukan sekadar proses yang sebentar melainkan melewati sekian detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, bahkan tahun. Keindahan sempurna itu bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga melibatkan proses tersebut.
Dalam fase awal imamat, saya ditugaskan di sebuah paroki yang dulu hanya saya ketahui lewat perjumpaan, kunjungan, dan bacaan yang ada dalam ruang seminari (baca: Seminari Tinggi Fermentum). Lalu, mau apakah Tuhan dengan semua ini? Setiap titik refleksi seharusnya bisa sampai dalam tahap tersebut; menemukan rencana Allah dalam setiap pengalaman hidup. So? Selama 3 tahun 9 bulan di paroki St. Martinus; Imam muda – “kecil” ini mendapatkan apa ya? Maka, tulisan ini dinamakan “catatan kecil dari sebuah penemuan hidup”.
Percuma saja berlayar
Kalau kau takut gelombang
Percuma saja bercinta
Kalau kau takut sengsara
Syair di atas merupakan sebuah penggalan lirik lagu dangdut berjudul “takut sengsara” – karangan Meggy Z. Sebuah lirik yang sederhana tetapi memiliki makna yang mendalam; bahwa semua punya resiko dalam menjalaninya. Kalau takut, tidak usah “bergerak” ataupun berusaha (baca=mati). Semoga setiap perjumpaan “kita” bersama merupakan hasil dari sebuah gerak yang sungguh mendalam karena sadar akan konsekuensinya hidup.
Ketika semua diawali dengan begitu indah Tuhan mengirimkanku sebuah pembelajaran yang membuatnya tidak indah lagi. Ketika semua hal yang mau dikerjakan awalnya begitu baik Tuhan menjadikan situasi tidaklah mudah dengan dinamika yang ada. Ketika semua berjalan sudah baik Tuhan memberikan situasi lain yang berbeda dari kata “baik”. Ketika hidup berjalan sangat cepat Tuhan menghentikanku dengan peristiwa iman yang berat. Ketika dengan berdoa biasa saja cukup Tuhan memberikan situasi bukan hanya doa biasa tapi iman yang dalam. Tuhanku, banyak peristiwa “rahmat” yang boleh aku rasakan di tempat ini Peristiwa senyuman manis, tertawa bahagia, diam, bahkan menangis tersedu-sedu Itu karena diri-Mu. Itu karena Kamu; yang sungguh mencintaiku, menyayangiku bahkan menerimaku apa adanya.
Semoga itu semua bukan sebagai penghalang untuk aku bisa membagikan kepada banyak orang yang aku layani. Tuhan memberkati. (MoGan)