Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan adanya KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri. Pasalnya, difteri tercatat sebagai penyakit yang menular dan mematikan. Hingga awal Desember 2017, Kementrian Kesehatan mencatat 20 propinsi telah melaporkan adanya kasus difteri. Dari sebab itu Kementrian Kesehatan melakukan tindakan pencegahan melalui program ORI (Outbreak Response Immunization) pada daerah-daerah KLB difteri.
Apakah penyakit difteri itu sebenarnya? Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Masa inkubasi penyakit ini antara 2 – 5 hari. Adapun gejalanya adalah: 1) Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel; 2) Sakit tenggorokan dan serak; 3) Demam dan menggigil; 4) Sulit bernafas/nafas cepat; 5) Pembengkakan kelenjar di leher; 6) Lesu dan lemah; 7) Pilek, mulanya cair tapi lama kelamaan jadi kental, kadang bercampur darah.
Difteri kadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok (ulkus). Dalam kasus yang berat, kuman bisa menyebar ke organ tubuh yang lain seperti jantung, ginjal, maupun sistem syaraf.
Penyebaran penyakit melalui partikel di udara. Penyebaran bakteri dapat terjadi dengan mudah dan dapat mengenai orang-orang yang tidak mendapat vaksin difteri. Ada beberapa cara penularan: 1) Terhirup percikan ludah penderita saat penderita bersin atau batuk; 2) Melalui barang-barang yang terkontaminasi oleh bakteri, misalkan handuk atau mainan; 3) Sentuhan langsung dengan luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita.
Faktor yang meningkatkan resiko terserang penyakit difteri antara lain: 1) Lokasi tempat tinggal yang padat penduduk dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik; 2) Tidak mendapat imunisasi dasar secara lengkap atau tidak mendapat imunisasi ulangan; 3) Gangguan sistim imun seperti AIDS; 4) Sistim imunitas yang rendah seperti pada anak-anak dan lansia.
Langkah awal pengobatan penyakit difteri adalah diberikan antitoksin yang bernama ADS (Anti Difteri Serum). Setelah itu akan diberikan juga antibiotik. Dokter juga akan mengambil sampel dari lendir di tenggorokan, hidung, atau ulkus di kulit untuk diperiksa di laboratorium. Pasien harus dirawat inap di RS dan ditempatkan di ruang isolasi utk menghindari penyebaran penyakit kepada orang lain. Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya dan dapat menyebabkan kematian antara lain akibat tertutupnya saluran nafas, kerusakan otot jantung (miokarditis), kerusakan syaraf, infeksi paru, dan gagal nafas.
Pencegahan yang terbaik terhadap penyakit ini adalah dengan melakukan imunisasi. Di Indonesia, imunisasi yang diberikan adalah DPT (5x sejak bayi berusia 2 bulan sampai usia 4 – 6 tahun). Untuk usia lebih dari 7 tahun, diberikan vaksin Td (tetanus difteri) atau Tdap (tetanus, difteri, aseluler pertusis). Vaksinasi ini akan melindungi terhadap penyakit tetanus, difteri, dan pertusis. Vaksinasi ini harus diulang setiap 10 tahun sekali.
Orang dewasa kelompok resiko tinggi untuk kontak dengan penderita penderita difteri misalnya petugas poliklinik dan rawat inap anak, THT, petugas gawat darurat, dan anggota keluarga dari penderita difteri, dianjurkan untuk menjalani imunisasi Td atau Tdap. (dr. Patricia/Sie Kesehatan)