Bertumbuh di tengah-tengah tantangan era digital yang mudah dalam mengakses informasi, mudah untuk berhubungan dan bergaul, dan mudah mengakses berbagai cara pandang dari berbagai pelosok dunia, gereja kita tengah giat-giatnya membina anak-anak muda sebagai generasi penerus.
Cepatnya perkembangan teknologi informasi saat ini memfasilitasi pola hidup kaum muda kita dalam belajar dan berelasi secara baru yang sungguh sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Berbagai hal ini mempengaruhi dunia mereka dan mengubah cara mereka berpikir tentang Gereja Katolik dan ajaran-ajarannya.
Mempertanyakan natur kebenaran dan keselamatan menjadi biasa, membuat linier dalam proses berpikir sehingga melahirkan distraksi yang besar dan menjadi kurang logis. “Penduduk asli dunia digital” ini juga terhinggapi “wabah” disruption (perubahan untuk menghadirkan masa depan ke masa kini). Hal ini membuat mereka semakin terpisah dengan generasi sebelumnya dalam berelasi, bekerja, berpikir, maupun beribadat.
Banyak kasus dalam hal ini membuat banyak kaum muda teralienisasi sehingga menjadi ragu, goyah, dan akhirnya meninggalkan imannya. Tetapi akses yang begitu terbuka seperti saat ini tidak selamanya negatif. Justru ini menciptakan sarana baru untuk menyebarkan karya keselamatan Kristus di dalam kehidupan sehari-hari generasi Milenial dan sesudahnya. Meskipun sebenarnya tidak ada orang yang bisa mengerti sepenuhnya atau memprediksikan dengan tepat bagaimana budaya digital akan membentuk kehidupan kolektif kita di masa depan.
Ada yang membandingkan pertumbuhan teknologi informasi yang pesat dengan penemuan mesin cetak di masa lalu yang membuka keran akses kepada berbagai gagasan dan melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan baru. Perkembangan zaman saat itu bahkan dijelaskan sebagai kasih karunia Allah yang paling besar dan ekstrim, dimana oleh-Nya Injil dimajukan.
St. Yohanes Don Bosco pernah menyatakan “Menghindarlah dari teman-teman yang jahat sama seperti kamu menghindar dari gigitan ular beracun. Jika teman-temanmu baik, saya yakin bahwa suatu hari kelak kamu akan bersukacita bersama para kudus di Surga; tetapi jika kumpulanmu jahat, kamu sendiri akan menjadi jahat pula, dan kamu berada dalam bahaya kehilangan jiwamu.” Dengan pandangan praktis namun penuh humor, beliau berhasil menjadi pendidik sejati yang tidak bertolak pada teori bukubuku, tetapi lebih kepada kebutuhan konkret karena mengerti jiwa kaum muda. Ia membimbing kaum muda dengan tegas tanpa kekerasan, yaitu dengan mengikut-sertakan mereka dalam usaha saling mendidik.
Santo Paus Yohanes Paulus II yang Agung, adalah pencipta Hari Orang Muda Sedunia (1984). Beliau dianggap sebagai Paus Orang Muda. Ia bekerja dalam dialog dengan mereka, dan mengundang mereka untuk mengenali tempat dan misi mereka di dalam Gereja. Sehingga gereja adalah mitra dari berbagai generasi untuk menggenapi rencana Allah dalam kehidupan mereka. Gereja adalah tempat di bumi yang merepresentasikan kehidupan manusia secara penuh dari baru lahir, kanak-kanak, muda, dewasa, manula, hingga meninggal yang berkumpul bersama dengan satu motif dan misi yaitu cinta kasih antar sesama mahluk ciptaan Tuhan dan keselamatan yang ada pada-Nya.
Walaupun pemisahan berdasarkan kelompok usia tampaknya praktis, tetapi kita harus percaya bahwa kita terpanggil untuk menghubungkan masa lalu kita (tradisi dan generasi tua) dengan masa depan kita (generasi berikutnya). Sehingga gereja adalah organisme yang hidup dari keragaman elemen organisme dalam kesatuan kekal yaitu Gereja Katolik yang satu, kudus, dan Apostolik.
Tantangannya adalah, bersediakah kaum muda mengejar hikmat dari orang percaya yang lebih tua? Sebaliknya, bersediakah generasi tua menerima gerakan Kristiani yang baru, yang dibawa oleh kaum muda? Sehingga masing-masing dari generasi kita tidak menjadi dropout satu bagi yang lainnya. (Paulus W. Prananta/St. Laurensia)