Akhir Juli dan awal Agustus merupakan hari-hari yang penuh kesibukan bagi penulis dan rekan-rekan alumni sebuah SMA Katolik di Bandung. Kami dihadapkan pada penyelenggaraan reuni angkatan dan reuni olah raga 21 angkatan (1985-2005) di kompleks almamater. Penyelenggaraan berjalan dengan baik dan sukses. Ada kebahagiaan tersendiri mengalami serta menggali kembali perasaan suka dan ceria bersama yang pernah dirasakan.
Apa sih yang melatarbelakangi jerih payah untuk mensukseskan acara tersebut? Kebanggaan? Kegembiraan bersama? Gagal “move on“? Ada banyak alasan di benak para alumni yang menghadirinya. Tapi muaranya adalah satu. Kami tidak pernah lupa pola pendidikan yang diterima pada saat remaja, di sekolah tersebut.
Pentingkah menyekolahkan anak kita di sekolah Katolik? Sangat penting! Di balik keluhan akan mahalnya biaya pendidikan di sekolah Katolik, pendidikan akan penanaman iman dan pembinaan nilai-nilai Kristiani di tahap kehidupan pertumbuhan anak, sangatlah vital.
Ibarat anak ayam yang terus bertumbuh di dalam cangkang kulit telur. Pada titik tertentu si anak ayam yang terkungkung akan keluar dengan mematuk. Dia akan berhadapan dengan lingkungan baru begitu kulit telur itu retak terbuka.
Bagaimana jika ada orang yang berusaha menolongnya dengan meretakkan kulit itu sebelum waktunya? Ia akan membunuh anak ayam itu karena menghentikannya berproses untuk memampukannya menghadapi lingkungan baru.
Untuk itulah, pendidikan di lingkungan yang sesuai dengan keimanan orang tua semakin memperkuat otot-otot iman anak tumbuh makin dewasa, tahap demi tahap. Kita bertanggung jawab untuk membekali generasi penerus dengan pengetahuan dan iman, agar mereka kelak dapat menjadi orang-orang yang tidak hanya pandai, namun juga berhati mulia sebagai anak-anak Tuhan. Anak-anak perlu diarahkan agar memikirkan kepentingan orang lain selain kepentingan dirinya sendiri; agar mereka juga mengejar kebaikan di kehidupan yang akan datang, selain dalam kehidupan di dunia ini. Pendeknya, anak-anak dididik agar menjadi semakin menyerupai Kristus.
Apakah ciri-ciri khas sekolah Katolik?
Disebutkan oleh Tahta Suci (lih. Archbishop J. Michael Miller CSB, The Holy See’s Teaching on Catholic Schools), yaitu sekolah yang: 1. Diinspirasikan oleh visi adikodrati; 2. Didirikan atas dasar antropologi Kristiani; 3. Dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas; 4. Diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya; 5. Didukung oleh kesaksian Injil.
Tahta Suci melihat bahwa sekolah-sekolah Katolik merupakan sarana yang tak tergantikan untuk melanjutkan misi Gereja di milenium yang ketiga ini. Ia dapat berperan membantu para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Sekolahsekolah ini harus terbuka untuk semua, untuk membangun komunitas umat beriman, untuk meng-evangelisasi budaya, dan melayani kepentingan bersama dalam masyarakat.
Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali keberadaan dan kebesaran Tuhan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini akan membentuk karakter anak sebagai seorang yang menghargai kebaikan Tuhan dan campur tangan-Nya dalam mengatur dan menyelenggarakan kehidupan mahluk ciptaan-Nya. Semoga, kelak mereka akan terdorong untuk melestarikannya, ataupun menyikapinya dengan penuh tanggungjawab demi kesejahteraan manusia dan seluruh mahluk ciptaan lainnya. Akhirnya, kesadaran akan kebaikan dan kasih Tuhan ini akan mendorong anak-anak untuk membalas kasih Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan hidup dalam kasih yang dijiwai oleh iman inilah, anak-anak mengarahkan hati mereka kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu Sorga.
Semoga sekolah-sekolah Katolik senantiasa memperbaiki mutunya serta menjadi tempat pembinaan Iman Kristiani yang senantiasa menempatkan Rahmat Allah menyempurnakan kodrat, “Grace perfects nature“.