Perkembangan hukum lingkungan tidak secepat perkembangan prilaku manusia dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam. Hukum lingkungan masih jauh tertinggal sehingga tidak mampu mengatasi sifat merusak aktivitas manusia. Sejak Undang-Undang No. 4 tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup terbit, Negara sudah mulai berpikir tentang masifnya daya rusak industri dan penyelenggara Negara menyadari pentingnya regulasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.
Ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 1982 telah diganti dengan Undang-Undang No.23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengaturan Undang-Undang No.23 tahun 1997 lebih maju dalam hal mengatur kelembagaan dan tindak pidana korporasi. Undang-Undang itu juga mengatur secara jelas peran serta masyarakat, pengelolaan lingkungan hidup secara integral dengan nonhayati, ha katas informal, serta dalam undang-undang ini juga diatur tentang hak gugat organisasi lingkungan hidup, sekarang yang berlaku adalah Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Dalam regulasi terbaru, untuk pertama kalinya kearifan lokal menjadi instumen pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan UU PPLH bisa disebut lebih lengkap dibanding dengan aturan sebelumnya, namun bukan berarti tanpa kelemahan dan kekurangan. Secara implementatif UU PPLH telah disahkan sejak tujuh tahun yang lalu, tapi peraturan pelaksanaannya hingga sekarang belum lengkap, salah satu yang sudah diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan.
Instrumen lingkungan hidup yang terkandung di dalam UU PPLH adalah Instrumen pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup, juga berfungsi sebagai instrumen pengawasan, perlindungan, pencegahan, dan penegakan hukum lingkungan. Instrumen pencegahan adalah kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kreteria baku kerusakan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), upaya pengelolaan dan pemantauan, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundangundangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan, dan analisis resiko lingkungan hidup.
Dalam cacatan Walhi, Januari – Juni 2013, setidaknya ada 123 kejadian konflik dan 227 mayarakat yang telah dikriminalisasi. Tingginya peristiwa proses atau konflik yang terjadi berkorelasi bahwa konflik lingkungan sangat erat berhubungan dengan sisten pengelolaan sumber daya alam. Konflik lingkungan tidak jarang berujung pada kriminalisasi masyarakat, hilangnya ruang hidup masyarakat akibat ekspansi besar-besaran adalah salah satu sebab pelanggaran hak asasi manusia bisa terjadi.
Demikian ruang konsultasi hukum dan/atau tulisan ini yang dapat kami sampaikan. Maaf kami tidak dapat menyampaikannya secara detail, karena terbatasnya ruang. Semoga bermanfaat. (Hendri/Sie Keadilan dan Perdamaian).