Syalom semuanya. Pernahkah mendengar istilah formalisme dan ritualisme?
Formalisme adalah saat kita beribadah tetapi hanya sekadar mengikuti ritualnya saja tanpa tahu apa makna dan tujuannya. Sementara ritualisme adalah buah dari formalisme itu sendiri. Beberapa orang masih merasa bahwa ibadah ke Gereja hanya sebatas kewajiban, tetapi tidak sungguh-sungguh merenungkan dan menghayati pengorbanan Yesus yang rela wafat di kayu salib. Kami mewawancarai beberapa narasumber untuk mencari jawaban apa itu formalisme dan ritualisme. Mereka adalah Bapak Sukiran (Toko Paroki), Bapak Matheus Setyanto (Kabid Liturgi), dan Bapak Partono (Prodiakon) yang sudah lama berkecimpung dalam pelayanan. Yuk, kita simak apa pendapat mereka!
Menurut Bapak Sukiran, kita bisa mengibaratkan orang yang terseret arus formalisme dan ritualisme itu seperti tanaman. Mereka bertumbuh menjadi tanaman yang lain, tetapi mereka akan menjadi cepat rusak dan layu. Sementara orang yang sungguh-sungguh mengimani ritual Gereja akan menjadi tanaman yang kuat dan kokoh. Sementara menurut Bapak Yanto, ritual Gereja yang kita lakukan bukanlah sebuah kewajiban melainkan sebuah kebutuhan.
Saat melakukan kewajiban, terkadang kita sering mengeluh, menggerutu, dan melakukan kewajiban tersebut dengan terpaksa. Tetapi ketika itu sudah menjadi kebutuhan, kita akan melakukan hal
tersebut dengan sukacita dan ikhlas. Jadi, bisa dikatakan kalau formalisme dan ritualisme ini sudah
mengakar di masyarakat dan menjadi virus sosial yang cukup berbahaya. Kita mungkin masih menjumpai orang-orang yang terseret dalam arus formalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang merasa dirinya sendiri yang paling benar, tidak menghargai toleransi antar umat beragama, kurang peduli keadaan di sekitarnya, mengharapkan imbalan ketika menolong orang lain, dan masih banyak lagi.
Lalu apa tindakan kita ketika berjumpa dengan orang seperti itu? Memusuhi? Menjauhi? Membiarkan? Tidak kawan-kawan sekalian. Tuhan tidak pernah mengajarkan kita untuk menjauhi orang-orang seperti itu. Justru Tuhan mengajarkan kita untuk merangkul orang yang salah dan berdosa, karena kita adalah garam dan terang yang telah dipilih Tuhan.
Seperti yang dikatakan Pak Partono, kita harus merangkul orang-orang yang terjebak dalam formalisme serta ritualisme dengan lembut dan sabar. Tidak ada proses yang instan. Kita bisa mohon kuasa Tuhan untuk membantu, membimbing, dan mengarahkan mereka kembali ke jalan Tuhan.
Seperti itulah kawan, beberapa pendapat dari narasumber mengenai fenomena formalisme dan ritualisme yang sedang kita hadapi saat ini. Semoga kita semua tidak terjebak dalam formalisme dan ritualisme ya. Terutama kalian, wahai kaum muda penerus bangsa. (Ashel/OMK St. Martinus)