Kata “Magis” di sini bukan berarti “sihir” atau “magic”. Apalagi berhubungan dengan klenik, perdukunan, dan roh-roh jahat! Ini adalah istilah dalam Spiritualitas Ignasian yang berarti “Lebih”. Tentunya istilah ini digali dari motto Jesuit sendiri “Ad Maiorem Dei Gloriam”.
Dengan kata “Magis” berarti seseorang mau berbuat lebih, tidak cepat berpuas diri, tidak “suam-suam” kuku, seenaknya, bersantai ria, tetapi secara optimal mau mencari dan mewujudkan kehendak Allah dalam hidupnya dan tugas panggilannya bagi orang-orang di sekitarnya.
Tema bulan ini, “Menangkal formalisme dan ritualisme”, harapannya semoga umat beriman tidak terlarut dalam formalisme dan ritualisme hidup menggereja yang mendangkalkan dan menjauhkan kehidupan iman dari persoalan dan pergulatan hidup sehari-hari. Kita berharap bahwa ada semangat magis dalam hidup beriman kita. Tidak hanya sekedar menjalankan hidup tanpa “spirit” dan roh yang menggerakkan.
Magis bukan Najis!
“Magis” adalah konsep yang penting dan sentral dalam spiritualitas Ignasian. Bagi Jesuit, kata “magis” diasosiasikan langsung dengan kata AMDG. Orang Jawa menerjemahkan AMDG dengan kata-kata: “Amrih Mulya Dalem Gusti”. “Magis” adalah kata Latin untuk “lebih besar” (Inggris: greater). Kata itu mencakup rasa haus akan keunggulan yang ingin dicapai Ignatius dalam usahanya melayani Tuhan. Lalu apa yang dimaksudkan dengan kata “Magis”?
Menurut Santo Ignatius Loyola, kata “magis” ini memiliki keterarahan khusus. Makna kata “magis” dirumuskan secara baik di dalam doa persiapan untuk retret Minggu kedua dalam Latihan Rohani, yaitu: “Aku akan memohon untuk memperoleh pengetahuan mengenai Tuhan kita, Dia yang telah berkenan menjadi manusia untukku; supaya aku dapat mencintai Dia secara lebih mesra dan mengikuti Dia secara lebih dekat” (LR 24). Bagi Ignatius, “magis” itu bukan mengerjakan banyak tetapi menjadi lebih dekat dengan Kristus dan terus menerus memperdalam dan mengintensifkan relasi dengan Kristus itu. Pribadi yang bersemangat “Magis” terus menerus terdorong untuk menemukan lagi, merumuskan kembali dan menjangkau secara lebih dekat, apa yang lebih baru, lebih baik, karena hanya itulah apa yang dikehendaki oleh Allah baginya. Yang baik menjadi lebih baik, yang lebih baik menjadi lebih baik lagi. Pribadi yang bersemangat magis adalah pribadi yang suci, yang berakar pada Yesus dan di dalam relasinya dengan Yesus bersama Bapa. Segala sesuatu yang diperbuat oleh pribadi itu mengalir dari relasi ini.
Dalam hidup Ignatius, kata “magis” lebih daripada hanya sebuah kata atau istilah. Bagi Ignatius, “magis” adalah sebuah sikap. Ignatius memiliki sikap ini bahkan sebelum pertobatannya dari “ksatria untuk raja”, menjadi “ksatria untuk Allah”. Dia selalu ingin mengerjakan lebih baik, mengerjakan lebih banyak. Ia tidak pernah puas dengan status-quo, dengan percobaan dan pengujian.
Magis dan Banalitas
Sebagai umat Katolik kita perlu menyadari diri bahwa kita tidak bisa terbawa arus “zaman now” yang sering hidup hanya dalam pusaran rutinitas dan kebiasaan semata. Karena rutinitas, ritualisme, dan formalisme itu membawa kepada muara yaitu sikap banalitas. Sebuah paham tentang hidup manusia yang dangkal dan seadanya. Maka, sebagai spiritualitas, magis membantu kita umat Katolik untuk menghidupi semangat spiritualitas yang diangkat sebagai motto Mgr. Pujasumarta (alm) ketika diangkat sebagai Uskup Bandung: Duc In Altum. Mowil.