Berdasarkan Pasal 54 dan Pasal 55, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), setiap orang yang menjadi tersangka atau terdakwa berhak didampingi oleh Penasihat hukum (Advokat), untuk kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, serta selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih penasihat hukumnya.
Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP, bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih serta bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka melalui Posbakum (Pos Bantuan Hukum) dari asosiasi profesi penasihat hukum (advokat). Dan pemberian bantuan hukum diberikan kepada tersangka atau terdakwa secara cuma-cuma.
Dalam proses pemeriksaan, tersangka berhak menolak untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjebak atau membahayakan kepentingan tersangka, dan juga tersangka berhak untuk menolak pertanyaan yang tidak sopan dan tidak ada relevansinya dengan tuduhan yang diajukan oleh penyidik, untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak meminta turunan berita acara pemeriksaan (Pasal 72 KUHAP), tersangka berhak untuk mengajukan saksi ahli, serta tersangka berhak menolak menandatangani berkas pemeriksaan perkara, dan untuk itu penyidik akan membuatkan berita acara dengan menyebutkan alasan penolakan tersangka.
Apabila tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana dikenakan penahanan, maka dia berhak untuk menghubungi penasihat hukumnya (Pasal 57 ayat (1) KUHAP.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 37 UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan UU no.48 tahun 2009 (UU Kekuasaan Kehakiman) setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan bantuan hukum yang diberikan oleh seorang penasihat hukum atau saat ini lebih dikenal dengan “Advokat”, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UU Kekuasaan Kehakiman, seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
Lebih luas lagi, sejak disahkannya UU No.16 tahun 2011 tentang bantuan Hukum, seseorang yang menghadapi masalah hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana dan tata usaha Negara baik litigasi maupun non litigasi, berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. (Tulisan ini bersumber dari Buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Edisi 2014, dipublikasikan dan didistribusikan oleh YLBHI dan Yayasan Obor Indonesia atas dukungan dari AusAID).
Demikian ruang konsultasi hukum dan/atau tulisan ini yang dapat kami sampaikan, maaf kami tidak dapat menyampaikannya secara detail, karena terbatasnya ruang, semoga bermanfaat. (Hendri/ Sie Keadilan dan Perdamaian)