Minggu Biasa ke-6 (Minggu, 17 February 2019)
BcE. Yer. 17: 5-8; 1Kor. 15: 12. 16-20; Luk. 6: 17. 20-26
Injil hari ini mengisahkan tentang kotbah Yesus di tempat datar (kalau dalam dilanjutkan Injil Mateusdengan lebih dikenal ucapan kotbah bahagia didan bukit). celaka. Setelah Di sana pengantar muncul empat singkat kali kata “berbahagialah” dan satu kali kata “bersukacitalah” dan “bergembiralah”. Dua hal yang diucapkan Yesus nampak sangat kontras. Yang satu nadanya pujian yang lainnya seperti kutukan. Orang yang miskin, lapar, menangis, seolah lebih baik dari yang kaya. Apa benar demikian?
Kalau kita melihat konteks kotbah di bukit, yang mau ditekankan bagaimana orientasi hidup para pengikut Yesus. Orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa mudah menyerahkan atau memasrahkan hidupnya kepada Allah. Mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk berharap dan mengandalkan hidupnya pada Allah. Orientasi hidup semacam inilah yang dianggap berbahagia oleh Yesus. Sebaliknya kekayaan menjadi berbahaya kalau dengan itu orang merasa serba cukup dan tidak perlu berharap dan mengandalkan pada Allah lagi. Karena itu sikap yang paling penting entah kita miskin atau kaya: kita tetap berharap dan mengandalkan Allah.
Orientasi hidup yang diwartakan Yesus tersebut juga sudah digemakan dalam bacaan pertama. Di sana dikontraskan juga dua cara hidup: cara hidup yang mengandalkan Allah dikatakan “diberkati” dan hidup yang mengandalkan manusia dikatakan “terkutuklah”. Masing-masing cara hidup itu ditampilkan dengan ibarat yang menarik. Yang satu diibaratkan pohon yang hidup di gurun kering, yang lain diibaratkan pohon yang hidup di tepi sungai. Yang satu kerdil yang lain subur.
Tinggal kita memilih mau menjadi seperti yang mana?