Pertengahan Januari lalu, sekelompok mahasiswa mendeklarasikan ‘Milenial Golput’. Mereka mengaku kecewa dengan dua kubu di Pilpres 2019. Kelompok ini mengaku berisi mahasiswa-mahasiswa dari perguruan tinggi di Jakarta. Salah seorang diantaranya bernama Bagas yang mengaku mengalami situasi tak nyaman selama Pilpres 2019. Di media sosial dia melihat banyak postingan bermuatan kebencian.
Di dunia nyata, dia menyaksikan keluarganya sering berdebat politis karena menyaksikan pemberitaan di media, soal panasnya persaingan politik. Rekan Bagas, Saifa El Saruqi, yang menjadi juru bicara ‘Milenial Golput’, juga mengaku resah melihat media sosial dipenuhi unggahan politis tak sehat. Dia menyebut buzzer membuat ruang publik di media sosial jadi sesak dengan hoax dan ujaran kebencian.
Dengan semakin dekatnya hari-H Pilpres dan Pileg, 17 April 2019, panggung politik justru terus-menerus mempertontonkan dialog dan adegan yang membosankan, bahkan memuakkan. Semakin kencang seruan agar kebohongan (hoaks) dan fitnah dihindari, realitasnya malah semakin menjadi- jadi. Seakan-akan selalu muncul peluru baru untuk menembak lawan politik.
Pilpres maupun pileg hanya kaya akan perang kata-kata, tetapi miskin data, menyebarkan pesan tanpa memperhatikan kebenaran dengan cepat dan terus menerus. Apalagi di zaman internet sekarang ini, dimana gawai dengan media sosialnya menjadi “berhala baru”, propaganda seperti itu berkelebat begitu cepat dan viral secara masif. Semua yang disebarkan sungguh tak bisa dibendung.
Bagaimana kita sebagai umat Katolik menyikapinya, sehingga kita tetap bersemangat untuk menyalurkan aspirasi di hari H pemilihan umum dengan tenang dan bertanggungjawab, juga tepat dalam memilih kepemimpinan nasional maupun perwakilan kita? Baiknya kita memusatkan penilaian kita pada latarbelakang, visi misi, karakter pribadi, prestasi, kapasitas, dan kemampuan calon-calon pemimpin bangsa tersebut. Bagaimana kita menilai karakter kepemimpinannya? Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak, dan budi yang terdapat dalam diri seseorang. Dengan mengetahui karakternya, kita dapat memberikan penilaian. Apakah orang tersebut baik atau tidak, layak atau tidak memimpin bangsa.
Ada beberapa karakter kepemimpinan yang dapat kita jadikan dasar penilaian, yang juga dapat kita praktekkan dalam hidup keseharian. Karakter yang baik itu antara lain: 1. Pendoa, 2. Pelayan, 3. Memiliki responsibility (bertanggung jawab), 4. Teladan, 5. PemerSATU, 6. Rendah hati, 7. Self-critical (introspeksi), 8. Visioner dan inisiator, 9. Profesional, 10. Tegas.
Dapatkah kita melihat karakter-karakter yang baik tersebut dengan kasat mata? Karakter manusia yang sebenarnya akan terlihat ketika dirinya menghadapi masalah. Ya, hidup ini tak pernah luput dari masalah. Namun, kita harus menyerahkan diri kita kepada Tuhan. Saat mengalami masa sukar, lihat dan maknai kebangkitan Yesus. Memiliki karakter yang kuat, tangguh, tegar, stabil, dan sempurna. Proses pembentukan karakter seperti Yesus tidaklah mudah dan diperoleh secara instan. Sebaliknya, proses tersebut seringkali menyakitkan dan mengancam kehidupan.
Dalam Roma 8:29 disebutkan, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung diantara banyak saudara.”. Semoga kita semua sebagai warga negara yang baik, dapat memilih pemimpin yang baik demi terwujudnya kesejahteraan bersama (bonum commune) di tanah air kita tercinta ini. Dan jangan Golput! Karena dengan tidak menggunakan hak Anda sebagai warga negara, berarti Anda menyerahkan nasib Anda ke tangan orang lain.