Meskipun diguyur hujan deras, umat yang datang mengikuti Perayaan Ekaristi Kamis Putih, 18 April 2019 pukul 17.00, tidaklah sedikit. Bahkan sebelum pukul 16.00, gereja sudah penuh. Begitu juga aula Bina Iman Anak, Bina Kasih, dan ruang kelas. Dipimpin oleh Romo Sahid dan Romo Willy, Ekaristi terasa sangat khidmat, umat terlihat turut merasakan kesedihan Yesus sebelum perjamuan terakhir.
Dalam homilinya, Romo Sahid mengajak kita untuk menyadari bahwa Yesus “menurunkan diri” demi menunjukkan kasih- Nya pada umat. Kasih yang hidup dalam diri kita merupakan warisan dan wasiat dari Tuhan. Kita hidup dalam Roh Kudus yang merupakan peradaban kasih, yang berarti siap memberi, siap menyegarkan, dan membuat bahagia. Kasih tidak pernah menyakiti melainkan melulu memberi sukacita. Lewat pembasuhan kaki para murid-Nya, Yesus memberi kita bekal untuk menyadari bahwa sesama kita adalah berharga. Karena itu harus dihormati, dihargai, dan dilayani agar suci, hidup, dan selamat. Ungkapan keselamatan dari Yesus, “Aku memberi hidup-Ku dan keselamatan bagimu.”
Romo Sahid juga mengingatkan bahwa Yesus senantiasa memberi tubuh dan darah-Nya. Jika kita tidak memiliki apa-apa, cukuplah beri ramah tamahmu, senyum indahmu, ucapan baikmu, dan jawaban yang menyejukkan hati. Ke-12 OMK selanjutnya mempersiapkan diri untuk dibasuh kakinya, saat homili berakhir.
Perayaan Ekaristi Kamis Putih pukul 20.00 dipersembahkan oleh Rm. Siswa (Selebran); Rm. Wahyu, dan Rm. Nasib (Konselebran). Dari awal sudah terasa khidmat dan hening. Umat memenuhi ruang gereja, aula Bina Iman Anak, Bina Kasih, dan juga di depan ruang kelas. Ciri dari Ekaristi pada hari ini adalah Tabernakel yang kosong.
Rm. Sis mengingatkan kembali akan “Kasih yang diberikan Tuhan kita Yesus Kristus. Ia telah memberikan diri-Nya sehabis-habisnya bagi umat manusia.”
Mereka bertiga terlihat begitu kompak: dibuka oleh Rm. Siswa, Injil dibacakan Rm. Nasib, Rm. Wahyu berhomili. Hingga pembasuhan kaki pun, bagi 6 pasang keluarga muda, dilakukan bertiga, 2 pasang sewang!
Dalam homilinya, Rm. Wahyu menjelaskan bahwa pembasuhan kaki para murid-Nya menjadi refleksi yang sangat baik. Dalam Kamis Putih, kaki, bagian paling bawah dalam tubuh, menjadi sangat penting. Kaki yang seringkali kurang mendapatkan perhatian. Padahal kakilah yang memungkinkan semuanya menjadi terwujud. Sebagai contoh kita pergi ke gereja menggunakan kaki.
Perarakan Sakramen Mahakudus di bagian akhir Ekaristi pertama dan kedua berjalan dengan khidmat.
Ekaristi dan perarakan Sakramen kedua berakhir. Sakramen Mahakudus ditakhtakan di ruang Melkisedek. Dimulailah ibadat Tuguran yaitu ibadat dalam Gereja Katolik yang biasa dilakukan pada hari Kamis Putih. Umat secara bersama-sama dalam kelompok, berdoa di depan Sakramen Mahakudus. Tuguran berarti juga berjaga-jaga, menemani Yesus yang bersengsara sambil berdoa. Kita mengenang kembali kisah Yesus yang gentar dan berdoa di Taman Getsemani.
Lewat kisah itu Yesus menjadi teladan bagi kita. Yesus memberi contoh untuk selalu berelasi dengan Bapa-Nya dalam setiap situasi, termasuk saat menghadapi situasi yang berat, bagaimana dengan kita? Kita malahan suka mencari penghiburan yang tidak jelas. Maka dari itu, kita diajak bersama untuk berjaga bersama Tuhan Yesus, menemani Dia dalam detik terakhir sebelum penderitaan yang akan Ia jalani. Ibadat Tuguran dimulai pukul 22.00, diawali oleh kelompok Orang Muda Katolik (OMK). Ibadat ini dibawakan dengan penuh hikmat dan khusuk dalam heningnya malam yang damai tanpa ada gangguan dari apa pun. Doa-doa dipanjatkan secara bersama, dengan variasi iringan lagu Taize yang mengalun dan lembut menjadikan tuguran ini semakin hidup. Sekitar pukul 03.15, warga Wilayah Yerusalem mengakhiri ibadat Tuguran ini.