Tak seperti biasanya, pagi ini Nayla, teman sebangku Melanie, tidak lagi duduk di sampingnya. Awalnya Melanie mengira bahwa Nayla hanya pindah untuk sementara waktu karena ingin menyalin PR Biologi. Namun ketika memasuki jam pelajaran, Nayla benar-benar tidak duduk di sampingnya. Sebuah tanda tanya besar muncul di benak Melanie.
Kini, Aldy-lah yang duduk di sampingnya. Saat Pak Tio, guru Biologi mereka tengah menjelaskan pola hereditas di depan kelas, Melanie tidak mampun menahan rasa ingin tahunya
kepada Aldy. “ Dy?Kenapa Nayla pindah tempat
duduk? Di belakang gak jelas yah?” Mendengar perkataan Melanie, Aldy langsung menoleh ke arahnya. Untuk beberapa detik pertama, Aldy hanya mengangkat sebelah bahunya lalu kembali melihat ke papan tulis yang sudah penuh dengan bahasa-bahasa biologis.
Menit selanjut nya, ket ika Melanie sibuk dengan buku cat at annya, Aldy menambahkan kalimat nya, “ Kenapa gak kamu t anyain langsung aja ke Nayla?”
Melanie t erdiam. Det ik berikut nya, ia mengangguk pelan. Bel ist irahat pun akhirnya berdering. Semua siswa berhamburan menuju kantin kecuali Nayla yang masih sibuk dengan barang-barangnya. Ketika suasana terlihat sangat mendukung, Melanie berjalan menghampiri Nayla yang duduk di bangku paling depan.
“ Nay?” suara Melanie membuat Nayla menoleh ke arahnya dengan pandangan gusar.
“ Kamu baik-baik aja ́kan?Kenapa kamu pindah t empat duduk?” lanjut Melanie heran. Nayla masih bungkam. Hingga sekit ar 30 det ik set elahnya, gadis itu membuka mulutnya, melontarkan sebuah kalimat yang berhasil membuat Melanie diam seribu bahasa, “ Awalnya aku kira kita sama. Sama-sama kecewa pada apa yang sudah t erjadi di hidup ini. Tapi t ernyat a aku salah. Kit a gak sama. Aku bukan bagian dari kamu. Dan aku rasa, aku memang sendirian dalam posisi ini. Aku pergi dulu.”
Nayla bangun dari t empat duduknya. Di saat yang bersamaan it u pula, Melanie menarik tangan Nayla. Menahannya untuk pergi, lalu berkata, “ Apa kamu ingin diperbaiki?Seperti aku yang berhasil kembali karena Aldy. Kalau kamu memang ingin kembali, aku t ahu jalan menuju pulang.”
Nayla t ak membalas. Tidak ada sat u kalimat pun yang berhasil keluar dari mulut nya. Mat a Nayla menat ap Melanie lekat dengan sejut a harap t ersirat di dalamnya. Tidak lebih dari set engah menit , Melanie melanjutkan, “ Ikut lah dengan kami kalau kamu memang ingin kembali.” Senyum Melanie mengembang lebar untuk sepersekian detik. Melanie beranjak keluar dari kelasnya hingga Nayla dapat melihat punggung Melanie perlahan hilang dibalik tembok-tembok yang membatasi pandangannya.
“Saat Allah memberikankasih-Nya kepada kita, hendaklah kita menjadi perpanjangan tangan-Nya yang mampu memberikan suasana damai serta kebahagiaan sehingga mereka yang merasa terbuang mampu merasakan kasih Allah yang begitu mendambakan kedat angan anak-anak-Nya.” Bersambung…