Kita berlutut karena menyadari kehadiran kita di hadapan Allah yang Maha Tinggi. Gerakan berlutut mempunyai arti yang sangat dalam dan penuh keintiman dalam hubungan antara manusia ciptaan dan Sang Penciptanya; sekaligus mengekspresikan sikap sembah sujud dan rasa hormat kita kepada Tuhan. Kita hidup di zaman modern, di mana dalam banyak hal kita telah banyak kehilangan sikap dan rasa hormat kepada sesuatu yang Ilahi, yang Kudus, yang Mulia. Kita semakin cenderung menghadap Tuhan secara biasa-biasa saja, hampir seakan-akan Dia yang Maha Tinggi dianggap sama saja levelnya seperti diri kita manusia. Hilangnya rasa hormat dan mengganggap kehadiran Sang Ilahi sebagai hal yang biasa-biasa saja, dapat diartikan sebagai hilangnya sikap rendah hati di hadapan Allah.
Ketika kita sungguh menyadari makna simbolis dari gerakan berlutut ini, setiap kali kita diingatkan bahwa kita ini bukanlah Tuhan, bukan Sang Pencipta. Kita hanyalah ciptaan di hadapan Dia, Sang Maha Pencipta. Berlutut di hadirat Allah yang Maha Tinggi dalam bagian-bagian yang diusulkan dalam tata liturgi kita, membantu memberi penekanan pada kehadiran Kristus yang sesungguhnya di dalam Ekaristi; sekaligus ingin menunjukkan betapa dalam rasa hormat, cinta, dan sembah bakti kita pada Allah yang telah mencintai kita sampai menyerahkan Putera-Nya yang tunggal.
Dalam masa-masa mendekati Pekan Suci, usahakanlah untuk sungguh menghayati makna gerakan berlutut ini; dalam rangka kita menghargai sepenuh-penuhnya kurban kasih Kristus yang paling dalam- sampai wafat di salib. Selamat mengekspresikan diri dalam membangun sikap hormat yang mendalam dan tahu menghargai setiap bentuk kehadiran yang Ilahi di sekitar kita. “Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku, ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’, bagi kemuliaan Allah…” (FIlipi 2: 10-11)