“Ndeso” saat ini sering diidentikkan dengan hal negatif. Sebagai contoh, ketika ada orang yang sedikit kurang Gaul misalnya, orang-orang di sekitarnya sering mengejeknya dengan julukan “ndeso.” Contoh lainnya adalah sebagai berikut. “Bro, tadi nonton bola gak lu ?,” tanya Si A. “Wah enggak bro, tadi malam aku nonton wayang,” jawab Si B. “Wo….ndeso !! selera lu parah bro…” kata Si A. Kita telah terbiasa memakai kata “ndeso” dengan pemaknaan demikian tanpa sadar bahwa kebiasaan tersebut dapat mengubah citra “ndeso.” Yakni tempat yang menggambarkan suasana asri, indah, sejuk, nyaman, dll. Yang melekat pada kata “ndeso” saat ini adalah gambaran keterbelakangan, udik, bodoh, dan norak. Sebegitu buruknya “ndeso” jika penggunaannya masih pada situasi ejek-mengejek atau pada situasi lain yang mengisyaratkan terbelakang, bodoh, udik, dan norak. Dimana ada yang disebut “ndeso” adalah orang yang dianggap tidak mengikuti perkembangan jaman, ‘gak kreatif, ‘gak up to date. Sedangkan orang yang (merasa) disebut tidak “ndeso” adalah orang yang mengikuti perkembangan jaman.
Padahal jika kita kaitkan dengan realitas, justru kota lah yang sering dihindari dalam pemilihan tempat tinggal. Tidak hanya itu, banyak pula orang perkotaan yang mengidam-idamkan suasana hidup di desa. Namun poin utamanya bukanlah mana yang lebih baik atau lebih buruk, baik desa atau kota. Pada intinya, “ndeso” tetap menjadi tempat yang memiliki nilai positif tatkala penafsiran arti kata “ndeso” juga dalam aspek positif. Bahkan untuk seorang Jokowi Presiden kita, mengakui sebagai wong ndeso. “.. masa kecil saya ada di desa. Ya saya ini wong ndeso…,”.
Di Desa Sisir di kota Batu, ada serangkaian acara Festival Sungai Brantas. Festival ini bukan hanya sekedar bersih-bersih sungai atau penghijauan. Festival ini menunjukan potensi yang luar biasa dari Desa Sisir. Festival Ekonomi Kreatif, Festival Budaya, Penghijauan, Diskusi Terbuka. Acara ini membuka pikiran akan budaya berkarya dari masyarakat desa yang sudah jarang kita temui, menciptakan inovasi, bahkan menjadikan barang yang tidak berguna menjadi barang yang bernilai. Setiap stand RW memiliki karya ekonomi kreatif yang berbeda-beda, ada yang memanfaatkan sampah kertas menjadi souvenir cantik, ada yang membuat makanan ringan ataupun berat, ada yang membuat bantal dengan gambar yang di desain melalui komputer, ada yang membuat lukisan, ada yang menjahit kebaya, dan masih banyak lagi. Pada Festival Budaya terdapat pertunjukan drama yang memiliki pesan kearifan lokal yang tersirat didalamnya, ada tarian tradisional dengan anak- anak “wong ndeso” umur 6th-15th yang menjadi pemeran utamanya. Disaat anak-anak di perkotaan sibuk dengan gadget , anak-anak “wong ndeso” ini sibuk melestarikan kebudayaan Indonesia.
Di Desa lain yaitu Selokarto Kabupaten Batang, generasi mudanya menggelar acara kreatif kemerdekaan RI dengan tema ‘Tokoo n’Desa’Expo. Acara ini didesain selayaknya pasar yang wajib menyajikan berbagai produk “ndeso” tetapi dengan kemasan modern. Acara ini juga menghadirkan mentor-mentor bisnis nasional, instansi terkait dan pengunjung yang diperkirakan lebih dari 5000 orang. Para praktisi bisnis bisa berbagi dan berinteraksi dengan warga sekaligus melakukan transaksi langsung.
Lalu siapakah “wong ndeso” yang sering kita dengar? apakah “wong ndeso” yang sering kita dengar ini adalah “wong ndeso” yang norak dan berkelakuan aneh ? apakah “wong ndeso” sering kita dengar ini adalah “wong ndeso” yang sibuk melestarikan budaya bangsa lain ? jawabannya adalah “wong deso” yang dimiliki oleh Indonesia adalah orang-orang yang masih mampu melestarikan budaya yang ada di daerahnya dan mewariskan budaya itu kepada anak cucunya sebagai penerus bangsa Indonesia. Semoga umat Katolik yang hadir di tengah-tengah masyarakat pedesaan, menemukan program-program yang dapat mengikat anak muda untuk memajukan desanya sendiri. (Paulus W. Prananta)