Dalam Alkitab Perjanjian Lama, ada koleksi kitab para nabi yang disebut Nebiim oleh orang Israel. Secara lebih khusus, ada dua belas kitab para nabi yang disebut kelompok “dua belas nabi kecil.” Mereka disebut nabi kecil, bukan karena mereka adalah nabi yang peranannya kecil atau karena mereka kurang diperhitungkan. Melainkan, mereka disebut kecil karena kitab mereka berukuran kecil. Alias, kitab mereka pendek, dibandingkan dengan empat nabi besar yang kitabnya panjang (puluhan bab). Tradisi Yudeo-Kristiani kita tidak meragukan kebesaran nabi Amos dan Hosea misalnya, walau keduanya termasuk kategori 12 nabi kecil.
Karena itu, ketika membaca kitab-kitab ini, pembaca dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan kesadaran tentang kronologi kisah itu terkait dengan sejarah Israel dan Yehuda. Hal itu terutama benar terkait dengan sepuluh dari keduabelas kitab tersebut. Enam dari kitab-kitab itu mengandung kata keterangan mengenai tanggal peristiwanya. Hal itu muncul dalam untaian yang sedikit bersifat terpola (artinya, ada pola tertentu yang mengatur keterangan tanggal tersebut; itu pertanda bahwa koleksi dua-belas-kitab itu merupakan hasil suntingan penyunting di kemudian hari). Keenam kitab ini bisa juga dibagi ke dalam kedua kelompok besar. Pertama, kelompok dari masa sebelum pembuangan yang mencakup empat kitab, yaitu Hosea, Amos, Mika, dan Zefania. Keempatnya dikaitkan satu sama lain dengan cara-cara penyebutan nama raja (Yehuda dan Israel) yang terpola sebagaimana dikatakan tadi.
Kedua, kelompok yang berasal masa sesudah pembuangan yang mencakup dua kitab (total enam kitab), yaitu Haggai dan Zakaria 1-8. Keduanya memakai kata-kata rumusan peristiwa yang dikaitkan dengan masa khusus dalam tahun kedua dan keempat raja Darius II, raja agung Persia. (Diskusi dan pembahasan rinci mengenai keterangan superskripsi, yaitu di bagian awal atas dari sebuah teks, sebagai “sarana pembingkaian tanggal”, bisa dilihat dalam pembahasan exeget James D.Nogalski, “Intertextuality and the Book of the Twelve,” dalam Forming Prophetic Literature: Essays on Isaiah and the Twelve in Honor of John D.W.Watts (ed. James D.Nogalski and Paul R.House; JSOTSup 235; Sheffield Academic Press, 1996, pp.118-126). Tanggal-tanggal yang ditetapkan secara spesifik dalam kelompok sesudah pembuangan tampak tumpang tindih satu sama lain, dengan pidato pertama Zakaria (1:2-6) yang mendahului pidato terakhir Haggai (2:10,20). Hal itu tampak sebagai kronologi yang bersifat programatik artinya yang memperlihatkan terlebih dahulu sebuah program dan rencana kerja dalam sejarah. Nah, rasanya kronologi programatik yang diciptakan kelompok pertama mengandaikan Hosea sebagai kitab pertama karena alasan-alasan teologis, walau tampaknya cukup jelas juga bahwa nabi Amos justru mendahului Hosea kurang lebih sekitar 15-20 tahunan. Masih ada lagi hal yang bisa diungkapkan dan dikatakan lebih banyak nanti tentang proses pembentukan secara teologis di kemudian hari. Yang jelas ialah bahwa pola itu juga mengandaikan adanya suatu kesenjangan waktu yang membentang hampir sepanjang seluruh abad ketujuh itu lamanya kalau rentang waktu itu dihitung dari jaman nabi Mika hingga ke jaman nabi Zefania. Mari kita lihat data rincinya secara historis. Raja terakhir yang disebut di dalam kitab nabi Mika ialah Hiskia (727-698). Sementara superskripsi yang berikutnya menempatkan tanggal tampilnya nabi Zefania pada masa pemerintahan Yosia (622-609). Keempat tulisan lain (Nahum, Habakuk, Yunus, dan Maleakhi) ditempatkan secara lain dari keenam tulisan di atas tadi. Hal itu menunjukkan adanya suatu kesadaran akan suatu bingkai kronologis-historis yang menandai keenam kitab di atas tadi yang memang ditandai dengan enam tanggal superskripsi di bagian awal kitab. Hal itu yang membedakan keenamnya dari keempat tulisan ini, sebab keempat karya ini tidak mengandung singgungan mengenai raja di dalam superskripsi mereka. Tetapi mereka mempunyai caranya tersendiri untuk menyinggung aspek kesadaran akan kesejarahan itu. Misalnya, Nahum dan Habakuk mengisi kesenjangan kronologis-historis dari akhir Mika ke permulaan Zefania dengan cara mengantisipasi jatuhnya kekaisaran Asyur pada tahun 612 SM. (ini terkait dengan nabi Nahum) dan munculnya Babel (yang ini terkait dengan nabi Habakuk). Kitab Yunus dikaitkan dengan seorang nabi yang bekerja di Israel di bawah masa pemerintahan Yeroboam II (lihat 2Raj 14:25). Hal ini menyebabkan Yunus bisa dikatakan “sejaman” dengan Hosea dan Amos di dalam latar belakang literernya. Subjek dari kitab Yunus ialah warta kenabian Allah kepada Niniwe, yang berakibat pada munculnya pertobatan seluruh negeri Asyur itu. Oleh karena Mika (5:5-6; lihat juga 7:8- 10, 12-13) dan Nahum mengandaikan penghakiman Allah melawan Asyur, penempatan Yunus dan pesan keselamatannya bagi Asyur pun bisa mendapat makna secara teologis. Akhirnya, latar belakang yang diandaikan ada di belakang kitab Maleakhi ialah suatu kurun Persia. Hal itu ditunjukkan dengan dipakainya sebuah kata Persia bagi pemerintahan (1:8; dalam terjemahan kita, dipakai kata bupati-mu). Kitab Maleakhi juga mengandaikan bahwa kenisah masih berfungsi, sebab ia berbicara tentang hewan kurban. Dengan demikian kiranya tampak jelas bahwa cara kesepuluh kitab ini disusun memang sejajar dengan kisah kerajaan Israel dan Yehuda.
Tulisan ini dibuat berdasarkan tulisan dari James Nogalski, Editorial, dalam Interpretation, Vol.61 Number 2, April 2007, pp.116-117.