Hari Minggu Biasa – V (Minggu, 9 February 2020)
Yes 58:7-10; Mzm 112:4-5,6-7,8a,9; 1Kor 2:1-5; Mat 5:13-16
Garam dan terang menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan garam untuk memberi rasa pada setiap masakan yang diolah, tanpa adanya garam masakan akan menjadi hambar. Demikian pula dengan terang. Manusia tidak bisa berbauat apa-apa dalam kegelapan. Garam dan terang menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Yesus menghendaki agar kita menjadi garam dan terang dunia. Kehadiran kita harus menjadi berarti bagi sesama.
‘Kamu adalah garam dunia. … Kamu adalah terang dunia.’ (bdk. Mat 5:13-14). Menjadi garam dan terang dunia memiliki makna bahwa hidup kita harus menjadi berkat bagi sesama, kehadiran kita harus berarti bagi sesama melalui segala perkataan dan perbuatan kita. Namun, apakah itu mudah untuk kita lakukan? Ego diri mengalahkah segala perbuatan baik yang hendak kita lakukan. Kita terkadang sungkan untuk berbuat baik kepada sesama. Perbuatan baik hanya berhenti pada niat untuk berbuat baik. Kita lebih memilih berdiam diri karena takut diberi label oleh orang sekitar (label sok baik misalnya) atau kita lebih memilih berdiam diri karena hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Masihkah kita akan berdiam diri dengan tawaran dan ajakan untuk menjadi berkat bagi sesama tersebut?