Covid-19 dan Kembalinya Pendidikan dalam Keluarga (Katolik)

Dunia kini sedang dilanda wabah Corona Virus Disease (Covid-19). Virus mematikan yang pertama kali muncul di Kota Wuhan;Cina, ini telah menyebar ke lebih dari 200 negara di dunia termasuk di Indonesia. Berbagai kebijakan telah diambil oleh para kepala negara untuk memotong mata rantai penyebaran Covid-19 ini. Mulai dari melakukan isolasi, social distancing atau psyical distancing (pembatasan jarak sosial), karantina wilayah (lockdown) oleh beberapa negara di Dunia. Dan tentu saja kebijakan pembatasan wilayah berskala besar (PSBB) sebagai kebijakan yang diambil oleh Presiden Joko Widodo. Apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh para kepala negara, semuanya mengatur tentang adanya perintah berdiam di rumah (stay at home) bagi para warganya. Dengan kebijakan tersebut, maka semua masyarakat diwajibkan untuk bekerja dari rumah (work from home/WFH), beribadah di rumah, dan juga belajar di rumah (learning from home/LFH) masing-masing.

Adanya kebijakan-kebijakan tersebut mengharuskan anak-anak usia sekolah belajar di rumah, disadari atau tidak telah mengembalikan tugas dan tanggung jawab orang tua dalam melakukan pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam kondisi pendidikan formal tidak lagi dilakukan di sekolah-sekolah sebagaimana biasanya, ayah dan ibu berperan sebagai orang tua dan sekaligus pendidik yang mengajari anak-anaknya di rumah. Mereka melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan. Memetakan schedule of time sebagaimana layaknya proses pendidikan dilakukan di lembaga pendidikan pada umumnya. Yang sejatinya pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Dikatakan pertama karena memang anak mendapatkan pendidikan pertama kali di lingkungan keluarga, yakni orang tua; ayah dan ibunya. Sementara dikatakan utama karena yang paling utama mendidik anak adalah orang tua.

Pengamat pendidikan, Ina Liem, menyatakan kurikulum masa darurat virus covid-19 perlu mengatur pembelajaran pengasuhan interaksi antara orang tua dan anak (parenting). Sebab, selama masa darurat korona anak akan lebih banyak belajar di rumah. Ina menjelaskan, penguatan digital learning bukan lagi satu keniscayaan. Sebab, fasilitas belajar digital sudah banyak di internet. Senada dengan Ina, pengamat pendidikan Budi Trikorayanto melihat pandemi Covid-19 merupakan momentum terjadinya perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Dalam kacamatanya, pendidikan di sekolah layaknya pabrik, pendidikan massal, dan bernuansa feodalistik. Metode itu, katanya, harus ditinggalkan karena memandang murid sebagai sumber daya manusia yang masuk dalam ekosistem faktor produksi dari mesin industri. Dengan atau tanpa adanya Covid-19, menurut Budi, sistem pendidikan memang menuju model edukasi yang memanfaatkan teknologi, dalam hal ini internet. Proses belajar, ujarnya, tetap dilakukan di rumah, tetapi secara terstruktur dan bertanggung jawab. Siswa akan lebih merdeka mau belajar apa saja. Orang tua dikembalikan sebagai pendidik utama anak-anaknya. Dan tak sedikit yang menduga, pasca-pandemi Covid-19, kebanyakan sekolah akan mengembangan sistem belajar online, atau paling tidak kombinasi antara tatap muka dan online (blended online).

Jika tren ke depan seperti itu, bagaimanakah Lembaga Pendidikan Katolik membangun jatidirinya? Bagaimanakah cara sekolah/kampus membudayakan nilai cinta kasih di dalam kehidupan para peserta didiknya? Bagaimana cara membiasakan para peserta didik untuk berpartisipasi dalam karya pelayanan Gereja dan berkomunitas serta ikut membaharui dunia? Namun, bagaimanapun juga, pertanyaan-pertanayaan itu harus dijawab secara tuntas agar Lembaga Pendidikan Katolik tidak sampai ‘ketinggalan kereta kemajuan.’ Tentu saja, sekarang kita belum punya gambaran yang jelas, bagaimana langkah terbaik yang akan diambil Lembaga Pendidikan pasca-pandemi Covid-19 dan pada masa di depannya. Namun, seperti apa pun langkah itu, rambu-rambunya sudah jelas, yaitu, bahwa sekolah/kampus disebut Lembaga Pendidikan Katolik bukan karena mereka didirikan dan dikelola oleh orang Katolik, bukan pula karena mereka menggunakan nama orang Kudus sebagai pelindungnya atau sekadar embel-embel biar tampak keren, juga bukan karena mereka mematok harga mahal, memiliki fasilitas yang mewah dan memberlakukan disiplin yang ketat.

Sekolah/kampus disebut Lembaga Pendidikan Katolik karena mereka menjadikan Yesus Kristus sebagai basis, pusat dan model pelayanannya sehingga para peserta didik bertumbuh menjadi citra diri Allah yang aktif membarui dunia. (ig:Paulus W. Prananta)

Baptisan:
Baptisan balita diadakan per 2 minggu sekali, baptisan dewasa per 1 tahun sekali.

Formulir dapat diunduh melalui tautan berikut:


Pernikahan:

Sakramen pernikahan dapat diadakan pada hari Sabtu atau Minggu. Hubungi sekretariat di tautan berikut untuk informasi lebih lanjut.

Perminyakan:
Sakramen perminyakan sesuai dengan janji. Hubungi sekretariat di tautan berikut untuk informasi lebih lanjut.

Data Wilayah

Baru pindah rumah dan tidak tahu masuk ke wilayah mana dan harus menghubungi siapa?

Jangan panik! Mang Umar ada solusinya! Silahkan kamu cek link ini untuk mencari data wilayah di paroki St. Martinus

Jadwal Pelayanan Sekretariat

Senin, Rabu, Kamis, Jumat: 07.30 – 12.00 & 16.40 – 19.00
Selasa, Sabtu: 07.30 – 12.00
Hari Minggu dan hari libur tutup

Alamat Sekretariat
Komplek Kopo Permai Blok H No. 4
Telp. 022-540-4263
Whatsapp +62 822-6055-3066

Jadwal Misa

Misa Harian
Senin – Sabtu di gereja pukul 06.00. Misa di Pastoran sementara waktu ditiadakan.

Minggu:
• 06.00
• 08.00
• 10.00

Sabtu:
• 18.00

COPYRIGHT © 2015 BERGEMA BY TIM KOMSOS ST. MARTINUS.